Bertemunya Agama dengan Spiritualitas Kejawen
loading...
Beberapa kali saya mengunjungi teman-teman yang ada di daerah Tengger,
di bawah Gunung Bromo untuk menghadiri dan ikut merayakan perayaan mereka yang
cukup penting dalam kehidupan masyarakat Tengger yaitu Perayaan Karo. Walaupun
saya tidak pernah mengikuti sampai kepada upacara-upacara keagaaman mereka
seperti nyadran ke kuburan, atau semacamnya, namun saya merasakan bahwa upacara
Karo itu seperti hari raya Idul Fitri dari sisi menyiapkan berbagai sajian
makanan, bukan soal upacara. Karena pada hati raya tersebut berbagai makanan
disuguhkan, dan dari makanan ringan seperti berbagai jajanan sampai kepada
makanan berat yaitu makanan nasi dengan lauk yang boleh dibilang mewah.
Karena saya cukup banyak kawan-kawan dari kalangan masyarakat Tengger di
lereng Gunung Bromo di sisi utara yang masuk wilayah Probolinggo tepatnya di
daerah kecamatan Sukapura, di desa Sapikerep dan beberapa desa lainnya, maka
ketika hari raya Karo itu kita benar-benar menikmati kegembiraan teman-teman
saya orang Tengger itu. Awalnya saya tidak mengerti apa makna dan sedang
memperringati apa mereka.
Nah, ketika membaca buku Menyongsong Sang Ratu Adil ini saya menjadi
sedikit mengerti latar belakang mereka merayakan perayaan Karo itu yang dikutip
dari tulisan Robert W. Hefner dalam bukunya berjudul; Hindu Javanese: Tengger
Tradition and Islam. Saya mengutipnya,
Dikisahkan bahwa Ajisaka berguru kepada Nabi Muhammad di Tanah Arab.
Setelah pulang ke tanah Jawa ia baru sadar bahwa keris nya tertinggal di
Mekkah. Lalu, ia menyuruh salah seorang muridnya untuk mengambil pusakanya
tersebut. Pada waktu bersamaan, Nabi Muhammad juga menyuruh salah seorang
muridnya untuk mengembalikan keris itu kepada Ajisaka, dengan pesan agar keris itu
hanya diberikan langsung kepada Ajisaka.
Di tengah jalan, kedua utusan tersebut bertemu dan berkata bahwa dialah yang berhak menyampaikan kepada tuannya. Terjadilah pertengkaran dan keduanya tewas karena kesetiaan mereka pada pesan tuan mereka.
Cerita Ajisaka versi Tengger tidak berhenti pada cerita tentang kematian kedua hamba yang setia itu. Ada semacam cerita tambahan yang dibubuhkan sebagai interpretasi baru. Untuk mengatasi tragedi tersebut, Nabi Muhammad dan Ajisaka kemudian berunding dan ercipta pengertian dan hubungan damai antara kedua agama, Buddha dan Islam. Kemudian disusunlah sebuah pakta (perjanjian) bahwa keduanya tidak mengulangi pertengkaran dan salibng membunuh. “Kalau Ajisaka malam, Nabi Muhammad pagi. Kalau Nabi lelaki, Aji perempuan,” dan seterusnya. Hal ini ditahbiskan dalam upacara “Karo” yang berarti “dua” atau “keduanya”. Keduanya saling mengakui. Keduanya setaraf, satu tidak ditinggalkan dari yang lain, hubungan keduanya saling melengkapi.
Nah, buku ini sesungguhnya berbicara bagaimana tarik-menarik agama-agama
yang datang ke Tanah jawa dengan prinsip Kejawen yang memiliki sejarah cukup
panjang, dari agama Hindu, Budha, Islam dan kemudian Kristen yang bersentuhan
langsung dengan Kejawen tersebut. Dan ini yang cukup menarik bahwa ternyata
dalam perspektif Jawa, semua agama dan tradisi spiritual itu bisa bertemu dan
akhirnya menjadi sebuah kios “pasar malam agama” di depan rumah Joglo
“Spiritualitas Jawa”, kalau mau meminjam istilahnya Anthony de Mello, SJ.
Makanya tidak heran kalau kita mendengar istilah “Kalimohosada” yang
menjadi Kalimah Syahadat, atau juga Dewa Srani dan juga pertemuan Kiai Jawa
dengan Yesus dan iman Kristen.
Sebuah buku yang sangat menarik untuk dibaca untuk melihat lebih dalam
spiritualitas yang telah dialami oleh orang-orang Jawa sebagai akibat
bersentuhannya mereka dengan agama-agama yang datang ke Tanah Jawa ini. Apalagi
buku yang walaupun merupakan bunga rampai Bambang Noorsena ini, tapi ketajaman
tulisan dan analisa menjadikan buku ini sangat dalam dan membuka wawasan. Tapi
lebih dari itu dari sisi konten topik yaitu bahwa kita bisa belajar bagaimana
ketika kita beragama bisa menghargai orang lain yang berbeda dengan kita.
Selamat membaca buku lengkapnya.
Judul : Menyongsong Sang Ratu Adil: Perjumpaan Iman Kristen dan Kejawen
Pengarang : Bambang Noorsena
Penerbit : Yayasan ANDI
Tahun : Yogyakarta, 2003
Pengarang : Bambang Noorsena
Penerbit : Yayasan ANDI
Tahun : Yogyakarta, 2003