Pergulatan Seorang Kartini
loading...
Dalam memperingati hari Kartini yang setiap tahun diperingati oleh bangsa Indonesia, maka saya ingin memaknai peringatatan terhadap Pahlawan Kemerdakaan Nasional Wanita Raden Ajeng Kartini dengan mengangkat dan mengulas buku yang khusus berkisah mengenai sosok wanita yang mendapatkan anugerah sebagai Pahlawan dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108, pada 2 Mei 1964 ini.
Saya memang harus mengakui bahwa sebelum saya membaca buku ini saya memang
pernah mendengar mengenai pahlawan wanita yang lahir pada tahun 1879 ini, tetapi
saya hanya mendengar dan mengerti hanya sebatas menyaksikan dan mengikuti peringatan
tentang dia dengan hanya mengikuti kegiatan–kegiatan, seperti para wanita menggunakan
busana Jawa atau menyaksikan lomba masak–memasak. Sejarah pastinya saya hampir tidak
mengerti. Makanya dengan membaca buku yang menjadi perhatian saya ini saya sedikit
mengetahui perjuangannya.
Buku yang saya perhatikan ini memang menjabarkan mengenai kepahlawanan Kartini
yang kemudian dihubungkan dengan keberadaan wanita pada era sekarang. Dan mengenai
ulasan terhadap kehidupan R A. Kartini penulis buku ini mengulasnya dari sudut pandang
kehidupan kartini dilihat dari lingkungan social dan budaya pada eranya.
Menariknya adalah bagaimana seorang Kartini yang hidup dalam jamannya sudah
menghadapi pergolakan pikiran, dan kebingungan ketika tokoh ini hidup dalam situasi
antara budaya yang dimilikinya dengan budaya baru yang dijumpainya telah menjadi
pergumulan tersendiri bagi Pahlawan kita ini.
Seperti diketahui bahwa R A. Kartini yang lahir dan besar dari kalangan lingkungan
keluarga bangsawan atau priyayi yang sangat ketat memegang teguh tata cara adat
termasuk adapt-adat yang berhubungan dengan wanita saat itu. Tetapi di sisi
lain sebagai anak dari orang tua yang memegang kekuasaan di dalam pemerintahan waktu
itu sebagai bupati memberi akses kepada R A. Kartini untuk dapat membaca buku–buku
yang berasal dari Barat dan tentu saja yang ditulis dalam bahasa asing. Demikian
juga bagi seorang anak bupati saat ini dapat memberi peluang bagi Kartini untuk
bisa membuka kontak dengan orang–orang Belanda.
Sehingga dengan demikian jelas bahwa sekalipun Kartini hidup dalam budaya
Jawa yang kental, tetapi ia tidak lepas juga dari pengaruh pemikiran budaya Barat.
Berkat keberanian ayahnya untuk menerobos tradisi di mana gadis R A. Kartini bisa
mengenyam pendidikan sekolah dasar yang diadakan oleh Belanda dan dengan bekal sekolah
selama enam tahun itu ia telah berhasil menguasai bahasa Belanda dengan baik. Bukan
hanya itu Kartini mendapat kesempatan untuk bisa berkenalan dengan kebudayaan Belanda
dan teman–teman yang berkulit putih itu.
Tapi tentu saja Kartini tetaplah gadis Jawa yang tunduk terhadap tradisi
local, dan hal itu terbukti ketika ia berumur 12 tahun ia harus meningalkan sekolah
dan memasuki apa yang disebut dengan masa “pingitan” untuk menantikan masa di mana
akan memasuki perkawinan. Suatu keadaan yang tidak diinginkannya, karena dalam diri
Kartini ia ingin terus menuntut ilmu mengenyam pendidikan yang lebih tinggi lagi.
Tapi sekali lagi keadaan saat itu yang tidak memungkinkannya. Tapi di saat–saat
“penantian” itu Kartini rupanya masih mendapatkan kesempatan untuk belajar yang
dilakukan di rumah. Dan bahkan Kartini mendapat kesempatan untuk bergaul dengan
orang–orang Belanda, dan bahkan menikmati bacaan–bacaan Barat.
Sebuah kemauan yang jarang terjadi pada jamannya khususnya pada di kalangan wanita. Sekali lagi keinginan Kartini untuk mengejar pengetahuan sangat tinggi, tetapi harus kandas. Dan kahirnya gadis Kartini harus juga takluk kepada keadaan di mana ia harus menikah dengan Bupati Rembang R A. Djojo Adhiningrat hingga ia wafat pada tanggal 17 September 1904, setelah beberapa beberapa hari dari melahirkan putra tunggalnya.
Sebuah kemauan yang jarang terjadi pada jamannya khususnya pada di kalangan wanita. Sekali lagi keinginan Kartini untuk mengejar pengetahuan sangat tinggi, tetapi harus kandas. Dan kahirnya gadis Kartini harus juga takluk kepada keadaan di mana ia harus menikah dengan Bupati Rembang R A. Djojo Adhiningrat hingga ia wafat pada tanggal 17 September 1904, setelah beberapa beberapa hari dari melahirkan putra tunggalnya.
Pergumulan batin Kartini dan pemikiran–pemikirannya itu dapat diketahui kemudian
setelah surat–suratnya terhadap teman–temannya itu diterbitkan. Kumpulan surat–suratnya
itu diterbitkan dalam bentuk buku yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Mulanya
dalam bahasa Belanda tahun 1911 berjudul, “Door Duisternis tot Licht” Gedachten
Over en Voor Het Javaansche Volk van Raden Adjeng Kartini” Dari Kegelapan Menjadi
Terang: Pemikiran Tentang dan Untuk Bangsa Jawa oleh Raden Adjeng Kartini
Sepuluh tahun kemudian tepatnya tahun 1920 A.L Symmer menterjemahkan dalam
bahasa Inggris berjudul “Letters of a Javanese Princess.” Tahun 1955 buyku tersebut
diterjemahkan dalam bahasa Jepang dengan judul, “Hi Kariwa Ankoku wo Koete: KArtini
no Tegami. Juga diterjemahkan dalam bahasa Prancis berjudul Lettres de Raden Adjeng
Kartini: Java en 1900.
Judul : Kartini: Pribadi Mandiri
Penulis : Haryati Soebadio & Saparinah Sadli
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1990
Judul : Kartini: Pribadi Mandiri
Penulis : Haryati Soebadio & Saparinah Sadli
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1990