Belajar Ikhlas dari Abdidalem
Berkenaan dengan hal tersebut sebuah buku yang sudah lama Redaksi mencarinya dengan tema abdidalem dan baru kali ini bisa mendapatkan dari sebuah toko online dengan penjual dari Yogyakarta.
Judul : Edelweiss van Jogja: Pengabdian Abdidalem Keraton Yogyakarta dalam Prespektif Sosio-fenomologi
Penulis : Dr. Sindung Haryanto, M.Si
Penerbit : Penerbit Kepel Press, Yogyakarta
Tahun : Januari 2014
Halaman : 318 halaman
Sangat menarik sekali ketika menelaah buku yang memberi gambaran bagaimana sebuah tradisi yang sudah ratusan tahun tetap mengakar dan tidak tergerus oleh jaman yang terus berubah. Abdidalem yang kemunculannya bersamaan dengan berdirinya kerajaan Yogyakarta tahun 1755 Masehi tetap berlangsung dengan karakteristiknya yang terus bertahan. Tahun boleh berubah, Raja terus berganti, tapi roh yang ada pada abdidalem terus berkobar yaitu di dalamnya ada pengabdian penuh dengan kesungguhan, kejujuran, loyalitas, dedikasi dan kesetiaan terhadap Keraton Yogyakarta. Kita boleh mendiskusikan ilmu ekonomi yang berbicara mengenai bagaimana mensejahterakan manusia dengan berbagai usaha di dalamnya. Namun berbicara mengenai imbalan abdidalem, cara menghitungnya bukan dengan cara matematis, karena imbalannya berdasarkan ketenangan batin. Tentu saja ketenangan batin tidak bisa diukur dengan materi, karena ia berada dalam diri.
Penulis yang meneliti keberadaan abdidalem dengan seluk beluk dan bahkan sampai kepada hal pribadi yaitu apa yang mereka dapatkan dari pengabdian mereka ini? Dengan melihat kecenderungan manusia hari ke hari di mana motivasi jaman moderen di mana manusia mencari uang begitu tinggi dan bahkan tidak cukup mencari tapi bagaimana penghasilan itu bisa dilipatgandakan. Namun abdidalem seperti meruntuhkan teori-teori di mana tujuan tindakan atau pengabdian itu bukan pada penghasilan, tetapi pada bagaimana mendapatkan 'lebih' dari sekedar ekonomi atau uang. Dengan menyebut angka rupiah yang diperoleh mereka dalam buku ini kita menjadi mengerti bahwa mereka bukan hanya mampu melihat yang kelihatan tapi lebih dari pada itu bisa merasakan apa yang mungkin tidak kita rasakan mengenai imbalan.
Namun demikian buku ini terus terang membuka wawasan baru mengenai abdidalem itu sendiri di mana bagi Redaksi idebuku.com selama ini ketika berbicara mengenai abdidalem, gambarannya seperti yang kita saksikan ketika masuk ke dalam Keraton Yogyakarta. Mereka menggunakan atribut pakaian khas, dan melakukan tugas-tugas satu dengan lainnya berbeda. Mungkin itu benar adanya, namun itu hanyalah sebagian, dan buku ini menjelaskan dengan detail latar belakang, pekerjaan, bagian-bagian abdidalem, serta lapisan-lapisan hirarki keberadaan abdidalem serta bagaimana proses penerimaan abdidalem yang bukan mudah, tapi melalui proses panjang. Di dalamnya ada proses tahapan-tahapan yang juga tidak sederhana. Seperti proses sowan bekti yang bukan hanya dalam bentuk ujian kesungguhan, tapi di dalamnya juga berbicara keikhlasan total. Jumlahnya abdidalem ini mencapai 2.000 orang dengan kekhususan mereka.
Kalau demikian apa yang menjadikan mereka begitu bahagia dan rela bahkan ikhlas untuk mengabdi sebagai abdidalem, sementara untuk menjadi abdidalem sendiri bukanlah melalui proses yang gampang? Ada apa gerangan sampai mereka mencapai kebahagiaan seperti itu? Sementara jaman terus berubah dan pengaruh-pengaruh luar juga pastilah menjadi bagian dalam kehidupan mereka? Penulis menelusuri dengan meneliti apa yang menjadi latar belakang beberapa abdidalem tersebut yang diungkap dalam buku ini. Berbagai jawaban mengapa mereka menjadi abdidalem dan motivasi apa yang akhirnya membawa mereka hingga rela menjadi abdidalem tersebut.
Sebuah buku yang mengajarkan kepada kita tanpa khotbah, bagaimana kita menjadi orang yang ikhlas dalam hidup ini. Karena meyakini bahwa di balik yang kelihatan sebenarnya ada yang tidak kelihatan yang mampu memberikan kebahagiaan. Penilaian kita menjadi subyektif ketika kita hanya mengukur dengan apa yang kelihatan saja. Sama halnya kita begitu meyakini Tuhan dengan begitu yakinnya, bahwa Dia maha mengetahui, maha mengerti, dan maha-maha lainnya. Namun ketika tidak ada orang (yang kelihatan) lain yang tahu dan menganggap orang lain tidak mengerti kelakuan kita, kita begitu seenaknya korupsi, seenaknya mencuri, seenaknya melakukan tindakan-tindakan yang menyakiti hati Tuhan. Entah apa karena Tuhan juga tidak kelihatan seperti manusia yang kelihatan. Di manakah keikhlasan kita?
Komentar
Posting Komentar