Amalan dalam Memilih Caleg dan Supaya Terpilih


Pemilu kada atau Pilkada serentak tahun 2024 dilaksanakan pada hari Rabu, 27 November 2024 untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota. Persiapan apakah yang dilakukan untuk memenangkan pertarungan Pilkada tersebut?

Semua calon sudah menyiapkan diri masuk konstelasi pilihan. Buku berikut ini baik untuk dibaca oleh calon peserta dan calon pemilih supaya didapatkan pemerintahan yang stabil selama lima tahun ke depan. 

Bagi para calon yang akan berlaga, pastilah semua tenaga akan dikerahkan. Semua persiapan, setelah terpilih dan ditunjuk oleh partai tentutiba waktunya pasang kuda-kuda. Selain persiapan koordinasi dan strategi adu gagasan yang bisa diunggulkan dan akhirnya meyakinkan publik untuk memilihnya, tapi juga jangan lupa membeli buku catatan yang mahal untuk dicatat semua janji-janjinya, supaya tidak lupa bila nantinya terpilih. Tapi kita pemilih jangan lupa mencatat semua janji kampanyenya.

Masalahnya, seringkali kita menjadi bangsa pelupa. Ketika kampanye para calon mengumbar janji-janji yang disampaikan begitu memukau. Kita mendengarnya bisa dibuat melek-merem karena keasyikan angin sorganya yang akan membuat rakyat sejahtera, dan bahkan wilayah kita akan menjadi kota-kota seperti kota-kota maju di negera-negara nun jauh di sana.

Tak usah jauh-jauh untuk mendapatkan contohnya, yang masih hangat dan masih ternginang di telinga di mana presiden dan calon presiden membuat berbagai janji. Tapi apakah ada niatan untuk melaksanakan janji-janji tersebut? 

Tapi tak salah 100% juga sebenarnya calon pemimpin kita itu yang sudah melontarkan berbagai janji-janji pada Pemilu, karena bisa jadi Pemilu itu bisa dianggap sebagai hiburan semata lima tahunan. Kalau hari-hari biasa, di mana sepi keramaian, semi orang gontok-gontokan membela calonnya, di saat Pemilu semuanya berubah. Begitu bergairah, ramai dengan hiburan, bantuan, kaos dan aksesoris lainnya. 

Kalau dihitung persen % sebenarnya kesalahannya menjadi jelas. Mari kita hitung, 50% nya kita juga yang salah calon pemilih ini. Kok mau-maunya kita menelan semua janji-janji tersebut?

Jadi coba kita selaraskan dulu, bahwa Pemilu itu pesta demokrasi, waktu untuk bergembira ria. Dan bila pestanya usai, ya sudah semuanya kembali seperti semula, seperti tidak ada apa-apa. Anggaplah kejadian kemarin itu sebagai kejadian dadakan. Memang direncanakan karena menelan biaya besar, tapi namanya pesta, ya bila usai, selesai sudah persoalan.

Sebuah buku menarik tentang Pemilu ini yang bukan hanya disampaikan dengan cara humor tapi sebenarnya di dalamnya serius. Jadi jangan dibalik, Pemilu itu serius tapi hasilnya humor. Siapa tahu buku ini bisa menjadi amalan yang bisa dilakukan untuk peserta, bisa menjadi azimat ampuh. Tapi juga bagi kita para pemilihnya bisa menjadi obat menawar kalau kita ternyata ikut-ikutan stress menyaksikan calon-calon kita "berdiskusi".


Judul       : Jangan Pilih Saya: Kisah Anekdot Pemilu

Penulis    : Ahman Sutardi

Penerbit  : PT Elex Media Komputindo, Jakarta

Tahun     : Maret 2009 

Halaman : Xiii + 119 hal, 17 x 18 cm

Jangan berharap membaca buku ini kita akan mendapatkan berbagai teori politik, apalagi yang dicetuskan oleh para filosuf yang menghasilkan pemikiran filsafat dalam bidang politik. Tapi, jangan salah juga kita bisa mengambil banyak pelajaran menarik yang akan didapat ketika membaca isinya. Teori-teori politik yang ditampilkan di sini dalam bentuk nyata tapi harus ditangkap oleh rasa.

Membaca halaman-halaman awal saja, kita akan disuguhi dengan anekdot menarik oleh Reyendra L. Toruan ketika menulis di Catatan Editor. Tajam menukik di kalbu bagi yang bisa menangkap makna yang terkandung di dalamnya, tapi membuat kita tersenyum dan bahkan terbahak-bahak saat mengikuti alurnya.

Simak saja tulisan awal buku ini ketika berbicara mengenai perbedaan pemimpin Amerika dan Indonesia ketika menghadapi krisis finansial. Ingat pemimpin yang dihasilkan memang sama-sama dari sebuah proses pemilu yang kita anggap demokratis, namun ternyata dalam menyikapinya berbeda. Anekdot yang disuguhkan memang kutipan dari seorang pakar ekonomi demikian saya mengutipnya supaya jelas;

Masukkan dua ekor kalajengking ke dalam sebuah gelas berisi separuh air. Kedua ekor kalajengking di AS tidak mau tenggelam dalam air (badai) di gelas. Mereka sepakat bekerja sama menyelamatkan diri. Kalajengking pertama bersedia
sebagai tangga yang kemudian dinaiki kalajengking kedua agar bisa mencapai bibir gelas. Setelah kalajengking kedua berada di bibir gelas, dia mengulurkan kakinya (tangan)agar kalajengking pertama tadi bisa naik ke bibir gelas. Kedua kalajengking itu selamat ke luar dari air gelas (yang menggambarkan krisis finansial).

Bagaimana kondisi di Indonesia? Dua ekor kalajengking dimasukkan ke dalam sebuah gelas berisi separuh air. Awalnya kedua kalajengking itu bekerja sama yang ditandai saling pelukan dan menghormati. Kalajengking pertama bersedia sebagai tangga agar kalajengking kedua bisa naik ke atas mendekati bibir gelas. Namun, saat kalajengking kedua mencapai bibir gelas, kalajengking pertama menarik kaki kalajengking kedua agar jatuh (kembali) ke dalam dasar
gelas berisi air. Kalajengking kedua meringis, kakinya keseleo, dan menatap temannya dengan penuh heran, “Kenapa kau tarik lagi aku ke bawah? Bukankah kita sudah sepakat saling tolong-menolong?” Yang dijawab kalajengking pertama,

“Kenapa kamu harus duluan? Saya dong, lebih gemuk, lebih kuat, lebih perkasa, lebih dominan…” Kalajengking kedua mengalah. Sambil meringis kesakitan, dia setia kepada kalajengking pertama yang sudah siap-siap menaiki punggungnya. Meski berbadan lebih kurus, kalajengking kedua berusaha menahan tubuh kalajengking pertama. Setelah kalajengking pertama sampai di atas, dia tidak mengulurkan tangan/kaki untuk membantu kalajengking kedua. “Kok kamu biarkan aku di sini?” tanya kalajengking kedua.

Kalajengking pertama mengembangkan seluruh kaki, mata, dan elemen-elemen lain tubuhnya untuk memperlihatkan kekuatannya dan kesombongannya. “Kamu pantes di bawah. Kamu kan kecil, lebih kurus. Kamu miskin…“ kata kalajengking pertama. Dia menatap kalajengking kedua dalam proses menderita menuju kematian. Detik-detik menuju kematian justru dinikmati kalajengking pertama.

Pesannya cukup panjang sebenarnya dari kutipan buku ini, tapi yang ingin disampaikan adalah soal kepantasan dan kelayakan dari perilaku para pemimpin hasil dari Pemilu tersebut.

Kita memang belum masuk ke suasana kampanye Pilkada Serentak 2024, walaupun bau-baunya sudah mulai terasa akan cukup panas. Tapi pesan penulis buku ini mengingatkan, kalaupun situasinya menegangkan karena kerasnya persaingan yang ada, kita masyarakat hendaknya menanggapinya dengan santai saja, tidak perlu ikut-ikutan tegang. Rileks sedikit, anggaplah yang panas itu mereka, kita jangan ikut-ikutan panas. Santai aja bro.

Posting Komentar

0 Komentar