Kampung Wadas Ingat Romo Mangun
Kampung Wadas, Kabupaten Puworejo, Jawa Tengah menjadi tranding topik di Google setelah terjadi pengepungan oleh polisi dan melakukan penangkapan warga. Menurut CNN kedatangan aparat kepolisian bertujuan untuk mengawal tim pengukur lahan tambang batu endesit untuk proyek strategis nasional (PSN) Bendungan Bener.
Rupanya rencana tersebut mendapat penolakan dari warga karena ditakutkan proyek tersebut akan mengancam sumber penghidupan dan lingkungan mereka. Mengikuti berita mengenai kasus Kampung Wadas jadi teringat dengan Romo Mangun ketika ia harus berhadapan dengan aparat ketika pembangunan Waduk Kedung Ombo.
Apakah ada persamaannya? Mungkin berbeda dari segi tekhnik dan cara penguasa yang kala itu cenderung otoriter dengan menggunakan militer sebagai tameng yang berhadapan dengan masyarakat sehingga Romo Mangun terpanggil untuk maju. Kini cara berbeda dilakukan oleh penguasa dengan pendekatan awal yang mungkin humanis, namun penggunaan kepolisian untuk tampil mungkin menjadi catatan tersendiri.
Lepas dari itu semua, buku ini tentu ingin mengangkat sosok pemberani asalkan apa yang dibelanya adalah benar. Disampaikan dalam bentuk novel yang sangat renyah untuk dibaca. Kisah yang yang menjadi catatan dari buku Novel berjudul Mangun ini. Siapa tahu buku ini bisa menjadi pengingat siapapun yang diberi amanah untuk berkuasa supaya tetap melihat kesejahteraan rakyat sebagai tujuannya.
Sebenarnya saya tidak suka membaca buku novel, entahlah menapa? Yang jelas sejak kecil kurang menikmatinya. Tapi karena suka dengan buku, saya memesan juga, dengan niatan hanya untuk koleksi. Namun, ketika membaca prolog buku yang ada di tangan saya ini, sebuah novel karya Sergius Sutanto berjudul Mangun: Sebuah Novel saya begitu melahapnya. Sebuah Novel yang tentu berdasarkan kisah nyata dari kehidupan seorang pejuang kemanusiaan bernama Y. B. Mangunwijaya. Buku setebal 412 halaman ini diterbitkan oleh PT. Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia dan diterbitkan tahun 2016 silam.
Kembali kepada prolog yang menyeret saya untuk terus menikmati tulisan novel ini. Kata-kata itu memang disampaikan oleh penulis tapi isinya menggambarkan sebuah rahasia mengapa seorang Mangunwijaya bersikap lantang dan berani menghadapi ancaman apapun bila yang dibelanya itu adalah sebuah kebenaran. "Satu keyakinan, dan mungkin sudah menjadi ayat suci bagi sebagian orang; kematian adalah sebuah perayaan, bukan kemalangan."
Pembuka prolog ini seperti menjadi sihir munculnya sebuah keberanian untuk bertindak dan pemicu tekad untuk menghadapi apapun termasuk resiko akan kematian. Hal tersebut yang bisa disimpulkan oleh penulis ketika menceritakan sosok Romo Mangun. "Dia tidak memikirkan banyak hal saat ancaman kematian mengintai dan menderanya bertahun-tahun.
Buku yang berkisah mengenai Romo Mangun itu serasa mengalir dalam tulisan-tulisan dari bagian ke bagian lainnya, sehingga pembaca enggan untuk berhenti mengikuti alur kisah tokoh luar biasa ini. Kisah-kisahnyapun menjadi enak dibaca karena disampaikan dengan enteng. Perjalanan kehidupan seorang Mangunwijaya yang memasuki sebuah dunia yang boleh dibilang serius ketika masa tuanya ternyata memiliki kisah-kisah unik. terkadang menggelikan, lucu dan penuh dengan humor.
Melukiskan perjalanan Bilyarta di masa-masa sulit terasa hidup karena penggambaran penulis mengenai sosok tokoh yang seperti masih hidup saat ini. Seperti bagaimana ia sekolah di SMA Dempo Malang dan diceritakan juga latar belakang bagaimana karya Burung-burung Manyar itu tercipta.
Perjuangan hidup dari Bilyarta yang tertulis dalam buku ini sangat mempesona dan dari kisahnya ini bisa dilihat kenapa Romo Mangun begitu berani melakukan apapun yang berdasarkan kebenaran. Dia tidak pernah ciut nyalinya bila berhadapan dengan siapapun untuk membela kebenaran.
Kutipan ini menandai bagaimana sikap tegasnya ketika menghadapi kekuatan senjata dengan mengatakan, Tolong dengar ini. Sampaikan kepada komandanmu - Mangunwijaya tidak akan tunduk di bawah kata-kata atau perintah Danramil, Dandim, atau Gubernur sekalipun. Saya hanya tunduk pada semangat kesetiakawanan sosial dan Pancasila," itu yang disampaikan di Kedung Ombo.
Komentar
Posting Komentar