Kebahagiaan dan Tidak Bahagia itu Kita Ciptakan
Kebahagiaan dan tidak bahagia sebenarnya kita yang ciptakan karena pencarian bahagia itu jalan untuk mendapatkan yang tidak bahagia. Begitu juga sebaliknya. Seandainya seseorang terus menikmati rasa bahagia maka ia akan merasa bosan sehingga ia kembali merasa tidak bahagia.
Kalau mencoba memikirkan dari mana datangnya kebahagiaan itu? Bukankah itu berasal dari file-file yang kita masukkan ke dalam memori sendiri sejak lama, bahkan semenjak kita kecil dan kita menamainya dengan bahagia. Dan kebahagiaan itu sendiri satu dengan yang lain berbeda. Lihat saja, kalau sejak kecil kita hidup dan tumbuh dari lingkungan penyuka musik dangdut dengan musik yang paling disukainya, maka ketika orang tersebut mendengar musik kesukaannya itu ia akan bahagia menikmatinya. Namun saat mendengar musik rock ia akan terganggu dan tidak suka dan tidak ada kebahagiaan. Begitu juga sebaliknya.
Mari kita mencoba memikirkan tentang suatu kebahagiaan yang kita miliki? Menikmati pemandangan laut yang tenang, dengan hamparan pantai yang luas di mana kita bisa bebas bermain, rasanya sangat bahagia berada dalam situasi tersebut. Tapi jangan buru-buru dulu. Sehari dua hari dan tiga hari berada dalam suasana pantai yang sama maka akan muncul kebosanan dan hilang kebahagiaan yang semula kita idam-idamkan dengan mengeluarkan banyak biaya.
"Aku bahagia kalau aku mendapatkan banyak duit," Eit, tunggu dulu! Seorang bernama Anoop di India mendapatkan uang mudah dari menang lotere 27 triliun setelah potong pajak. Waktu Anoop mendengar khabar memenangkan lotere tersebut ia berujar, "Saya sangat senang waktu menang," seperti dikutip oleh BBC. Begitu juga saat banyak orang datang ke depan rumahnya sambil mengambil foto. Anoop begitu bahagia. Namun belakangan kebahagiaan itu malah menjadi bencana di mana setiap hari orang datang ke rumahnya untuk meminta bantuan. Sampai-sampai ia bersembunyi di rumah familinya untuk menghindari serbuan orang yang datang untuk meminta bantuan. Celakanya, karena urusan itu juga anaknya yang sakit tidak sempat dibawa berobat.
Kalau demikian benarkan kebahagiaan itu menjadi tujuan utama manusia dan apakah manusia benar-benar bisa meraihnya? Sebuah buku menarik yang ditulis oleh Jaya Suprana, seorang komponis, pianis, penulis, kartunis, kelirumolog, humorolog, filantropis, budayawan dan sederet keahlian yang disematkan kepadanya. Judul bukunya: Pedoman Menuju Tidak Bahagia. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Tahun terbitan 2011.
Buku ini tentu saja buku ini jauh dari teoriti-teori apapun tapi lebih sebagai buku praktis di mana mengajak kita pembaca untuk mendalami sikap kemanusiaan kita yang pasti selalu mencari kebahagiaan. Diilhami oleh perjalanan hidup tokoh Buddha yang secara pandangan manusia seharusnya menjadi makhluk yang berbahagia karena ia berada di dalam istana yang penuh dengan kemewahan dan gemerlap dunia. Namun rupanya gelimang harta tidak memberikan kebahagiaan sama sekali kepada Sidharta Gautama dan mendorongnya untuk mencari makna kebahagiaan itu sendiri.
Ketika Sidharta Gautama berkesempatan meninggalkan istana dan melihat dunia luar luar ternyata yang beiau jumpai ketidakbahagiaan makhluk hidup di mana banyak orang menderita sakit, orang miskin, orang tua dan akhirnya jenazah yang membusuk. Dari situlah Sidharta Gautama berkesimpulan kalau hidup dunia yang fana ini sarat dengan ketidakbahagiaan. Rupanya berangkat dari kenyataan tersebut Sidharta Gautama meninggalkan istana yang dianggap banyak orang penuh kebahagiaan dengan hidup duniawi dan demi mampu memahami kebahagiaan sejati itu untuk menempuh perjalanan hidup melalui jalur ketidakbahagiaan untuk mencari makna kebahagiaan sejati.
Memahami buku ini memang perlu menangkap berbagai kisah di mana antara kebahagiaan dan ketidakbahagiaan itu bisa diperoleh. Kebahagiaan akan diperoleh dengan jalan ketidakbahagiaan. Bagaimana jalannya? Penulis memberikan ilustrasi yang begitu mudah dicerna selama kita fokus dengan dua kondisi dua kata yaitu bahagia dan tidak bahagia. Namun lebih dari itu penulis juga mengambil prinsip-prinsip apa itu bahagia dan apa itu tidak bahagia dari para filosuf dan orang-orang hebat.
Kata F, Scoot Fitzgerald yang dikutip dalam buku ini, Saya tidak percaya kebahagiaan seperti saya tidak percaya ketidakbahagiaan. Semua itu hanya kita lihat di panggung, di layar lebar, atau di halaman cetakan. Di kenyataan kehidupan semua itu tidak pernah terjadi.
Posting Komentar
0 Komentar