Laki-laki Jangan Menangis dan Wanita Jangan Berteriak: Menurut OSHO Sebaiknya Tidak Dilakukan Siapapun

Daftar Isi


Laki-laki jangan menangis dan wanita jangan berteriak sudah menjadi pandangan umum dengan berbagai alasan sesuai dengan budaya di berbagai tempat. Bahkan mulai kecil orang tua kita juga melakukannya karena alasan-alasan tertentu. Laki-laki jangan menangis, karena menunjukkan kelemahan. Wanita jangan berteriak, karena tidak patut dan seterusnya.

Tapi OSHO atau Bhagwan Shree Rajneesh yang hidup tahun 1931-1990 punya pandangan lain yang sering menjadi kebiasaan di masyarakat baik itu di Indonesia maupun di dunia lain seperti di dunia Barat. Baginya, melarang laki-laki menangis dan melarang wanita berteriak tidaklah tepat karena OSHO melihatnya sebagai bentuk represi terhadap ekspresi alami manusia. Dalam pandangannya, alam tidak menciptakan batas-batas emosional berdasarkan jenis kelamin, kita semua dilahirkan dengan kemampuan untuk menangis, tertawa, marah, takut, dan berbahagia. Ketika masyarakat memaksa laki-laki untuk menekan tangis dan perempuan untuk menahan kemarahan, yang terjadi adalah penumpukan emosi yang bisa berubah menjadi gangguan psikologis atau bentuk kekerasan tidak langsung.

Secara psikologis, larangan ini membentuk konstruksi gender yang sempit: laki-laki harus kuat dan tidak emosional, perempuan harus lemah lembut dan pasif. Padahal, menangis bagi laki-laki bisa menjadi bentuk kelegaan emosional yang sehat, dan berteriak atau marah bagi perempuan bisa menjadi bentuk ekspresi batas diri yang penting.

OSHO mengajak kita kembali ke kesejatian: membebaskan diri dari norma-norma yang memenjarakan emosi alami. Dalam kerangka ini, keutuhan manusia—baik laki-laki maupun perempuan—hanya bisa dicapai jika kita diberi ruang untuk menjadi utuh secara emosional juga.

Konsep seperti "laki-laki jangan menangis" dan "perempuan jangan berteriak" bukan hanya terjadi di Asia, melainkan merupakan fenomena global, meskipun bentuk dan tekanannya bisa berbeda-beda tergantung budaya. Inilah salah satu yang tertulis dalam buku pemikiran OSHO berikut:


Judul      : Emotional Learning: Belajar Efektif Mengelola Emosi: Mengubah Ketakutan, Kemarahan, dan Kecemburuan Menjadi Energi Kreatif

Penulis   : OSHO

Penerbit  : Pustaka Baca!

Tahun      : Yogyakarta - Surabaya, Cetakan I Juni 2008

Sebenarnya buku ini membahas beberapa hal penting bagaimana mengelola emosi dengan baik yang tentu mengajak kita semua untuk lebih melihat diri dengan praktis, bagian-bagian penting dari detail kehidupan kita. Bagi OSHO, saat kita hidup sekarang ini lebih banyak akal dilatih ketimbang emosi. Dan emosi begitu ditekan sehingga menimbulkan ketidaknyamanan. Salah satu bahasannya adalah mengenai pria dilarang menangis, dan wanita dilarang berteriak. Menariknya, untuk bagian ini, bukan hanya terjadi di Asia, tapi juga sering terjadi di belahan budaya lainnya termasuk di Barat.

Di banyak budaya Barat sekalipun, laki-laki sering dibesarkan dengan narasi "be a man", yang mengisyaratkan penekanan emosi sebagai bentuk kekuatan. Di sisi lain, perempuan seringkali didorong untuk bersikap "ladylike", yang menyiratkan bahwa kemarahan atau ketegasan adalah sesuatu yang tidak pantas bagi mereka. Akibatnya, baik di Timur maupun di Barat, kita melihat bentuk represi emosional yang serupa—meski dibalut nilai-nilai budaya yang berbeda.

Yang menarik, dalam beberapa masyarakat adat atau suku tertentu justru ada ruang yang lebih terbuka untuk ekspresi emosi, tanpa terlalu mengaitkannya dengan jenis kelamin. Ini menunjukkan bahwa norma itu bukan kodrat, tapi konstruksi sosial.

Menurut pendekatan OSHO, prinsip seperti "laki-laki jangan menangis" atau "perempuan jangan berteriak" seharusnya tidak dipraktikkan karena tiga alasan penting berikut:

1. Menekan Keaslian Diri
OSHO sangat menekankan pentingnya keaslian (authenticity). Ketika seseorang dilarang menangis atau mengekspresikan kemarahan karena gender, mereka kehilangan koneksi dengan diri sejati mereka. Ini menciptakan pribadi yang penuh kepura-puraan dan rapuh secara emosional.

2. Membentuk Masyarakat Sakit Emosional
Penekanan emosi secara terus-menerus, atas nama norma sosial, membuat banyak orang menyimpan luka batin yang tak terselesaikan. Ini bisa muncul dalam bentuk stres kronis, ledakan amarah, kekerasan tersembunyi, atau bahkan penyakit psikosomatik. OSHO percaya bahwa masyarakat sehat dibangun dari individu yang bebas mengekspresikan emosinya secara jujur dan sadar.

3. Menghalangi Evolusi Spiritual dan Psikologis
OSHO memandang bahwa menerima dan mengalirkan emosi adalah bagian dari pertumbuhan spiritual. Ketika emosi ditekan demi mematuhi peran gender, seseorang terhambat untuk berkembang sebagai manusia utuh. Ia menjadi produk budaya, bukan makhluk sadar yang bebas.

Secara sederhana, prinsip-prinsip itu bertentangan dengan kehidupan yang autentik, sadar, dan utuh. OSHO tidak menyerang budaya, tapi mengajak manusia untuk sadar bahwa banyak norma yang kita warisi justru menjauhkan kita dari kemanusiaan kita sendiri.

Posting Komentar