Mengungkap Krisis Pendidikan Indonesia: Guru Kontrak dan Ketimpangan Distribusi dalam Pendidikan Rusak-Rusakan
Pendidikan di Indonesia sering kali menjadi cerminan ketimpangan sosial yang mengakar. Dalam buku Pendidikan Rusak-Rusakan (LKiS Yogyakarta, 2005), Darmaningtyas dengan tajam mengkritik berbagai masalah sistemik dalam dunia pendidikan Indonesia. Salah satu sorotan paling menarik terdapat pada bab "Guru dan Masa Depan Pendidikan", khususnya bagian "Guru Kontrak, Memboroskan Anggaran" di halaman 175. Bagian ini mengungkap bahwa krisis pendidikan bukan soal kekurangan guru, melainkan ketidakmerataan distribusi guru antara kota dan daerah terpencil. Artikel ini akan membahas inti dari kritik Darmaningtyas dan relevansinya bagi pendidikan Indonesia saat ini.
Guru Kontrak: Solusi Jangka Pendek yang Memboroskan Anggaran
Dalam Pendidikan Rusak-Rusakan, Darmaningtyas menegaskan bahwa Indonesia sebenarnya tidak kekurangan guru. Masalah utamanya adalah distribusi guru yang tidak merata. Wilayah perkotaan sering kali kelebihan guru, sementara daerah terpencil, seperti pedesaan atau pulau-pulau terisolasi, kekurangan tenaga pengajar yang berkualitas. Kebijakan perekrutan guru kontrak yang diterapkan pemerintah justru menjadi solusi yang tidak efektif dan memboroskan anggaran pendidikan.
Darmaningtyas mengkritik bahwa anggaran besar yang dialokasikan untuk guru kontrak sering kali tidak menyelesaikan akar masalah. Guru kontrak, yang biasanya mendapat gaji rendah dan tanpa jaminan kerja jangka panjang, cenderung ditempatkan di daerah yang sudah memiliki cukup guru. Akibatnya, daerah terpencil tetap kekurangan tenaga pendidik, dan kualitas pendidikan di sana terus tertinggal. Ini mencerminkan manajemen pendidikan yang birokratis dan kurang terarah, sebagaimana diuraikan dalam buku ini.
Ketimpangan Distribusi Guru: Akar Krisis Pendidikan
Mengapa distribusi guru begitu timpang? Darmaningtyas menyoroti beberapa faktor kunci:
1. Kurangnya Insentif untuk Daerah Terpencil: Guru sering kali enggan mengajar di wilayah terpencil karena minimnya fasilitas, seperti akses transportasi, listrik, atau telekomunikasi. Tanpa tunjangan khusus atau jaminan karir, motivasi untuk mengabdi di daerah ini sangat rendah.
2. Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran: Perekrutan guru kontrak sering kali tidak didasarkan pada analisis kebutuhan wilayah. Akibatnya, banyak guru ditempatkan di kota-kota besar, sementara daerah terpencil tetap terabaikan.
3. Status Guru Kontrak yang Rentan: Guru kontrak menghadapi ketidakpastian status kerja dan kesejahteraan yang buruk, yang berdampak pada motivasi dan kualitas pengajaran mereka.
Ketimpangan ini tidak hanya memperburuk akses pendidikan di daerah terpencil, tetapi juga memperlebar kesenjangan sosial antara masyarakat kota dan pedesaan. Darmaningtyas menegaskan bahwa pendidikan yang seharusnya menjadi alat transformasi sosial justru mempertahankan status quo ketidakadilan.
Relevansi Buku untuk Pendidikan Indonesia Saat Ini
Meskipun diterbitkan pada 2005, kritik Darmaningtyas dalam Pendidikan Rusak-Rusakan tetap relevan hingga kini. Masalah distribusi guru masih menjadi tantangan besar di Indonesia, terutama di era otonomi daerah dan implementasi kebijakan seperti Merdeka Belajar. Buku ini mengajak kita untuk merefleksikan ulang bagaimana sistem pendidikan dapat dirancang untuk lebih adil dan inklusif, dengan menempatkan guru sebagai elemen sentral dalam transformasi pendidikan.
Bagi Anda yang peduli dengan masa depan pendidikan Indonesia, Pendidikan Rusak-Rusakan adalah bacaan wajib yang membuka mata tentang realitas sistem pendidikan kita. Bagian "Guru Kontrak, Memboroskan Anggaran" menjadi pengingat bahwa solusi pendidikan tidak hanya soal jumlah, tetapi juga tentang keadilan dan kualitas.
Baru-baru ini saya membaca lagi kisah yang menghantam nurani—seorang guru honorer yang telah mengabdi 33 tahun, hanya menerima gaji Rp350.000 setiap tiga bulan. Berita ini bukan sekali dua kali muncul. Sudah terlalu sering, dan yang lebih menyakitkan: sudah terlalu biasa.
Mengapa kita membiarkan hal ini terjadi?
Mengapa pengabdian yang begitu dalam tidak pernah dibalas dengan penghargaan yang layak?
Pertanyaan-pertanyaan ini mengingatkan saya pada buku Pendidikan Rusak-rusakan karya Darmaningtyas—sebuah kritik yang gamblang dan berani terhadap sistem pendidikan Indonesia yang tidak berpihak pada pendidik dan pelajar, tetapi justru pada struktur kekuasaan dan logika pasar.
Penutup: Saatnya Berpihak
Bagi kita yang membaca buku seperti Pendidikan Rusak-rusakan, dan menyaksikan realitas pahit guru honorer, diam bukan lagi pilihan. Saatnya berpihak—setidaknya dengan menyuarakan ketidakadilan, menulis, dan mendukung perjuangan mereka lewat ruang-ruang kesadaran.
Karena pendidikan yang rusak tidak akan membaik hanya dengan doa dan kesabaran, apalagi hanya DIAM. Ia butuh keberanian untuk bertindak, memihak, dan mengubah.
Tertarik untuk Membaca Lebih Lanjut?
Dapatkan buku Pendidikan Rusak-Rusakan karya Darmaningtyas (LKiS Yogyakarta, ISBN: 979-8451-28-7) dan temukan analisis mendalam tentang krisis pendidikan Indonesia. Bagikan pendapat Anda tentang buku ini di kolom komentar atau kunjungi idebuku.com untuk ulasan buku lainnya yang menginspirasi!
Posting Komentar untuk "Mengungkap Krisis Pendidikan Indonesia: Guru Kontrak dan Ketimpangan Distribusi dalam Pendidikan Rusak-Rusakan"
Posting Komentar