Hotel Mumbai Kisah Anak-anak Muda Bertemu dengan Orang yang Salah
Serangan ter0r1s 26 November 2008 di Taj Mahal Palace Hotel di Mumbai, India menjadi hari kelabu bagi tamu hotel mewah tersebut, dan kisahnya telah diangkat menjadi film drama thriller dengan judul Hotel Mumbai. Sebuah film yang juga diputer di tv swasta nasional di Indonesia.
Peristiwanya bermula ketika sekelompok anak muda berhasil masuk ke hotel terkenal tersebut dan men3mbaki beberapa tamu dan pegawai hotel yang menimbulkan korban berjatuhan. Kisahnya dibuat secara apik yang dibintangi oleh beberapa pemain terkenal India seperti Dev Patel, Nazanin Boniadi, dan Armie Hammer.
Jika di India dikenal dengan peristiwa yang akhirnya menjadi sebuah film berjudul Hotel Mumbai, di Indonesia dari beberapa kasus ter0r, kita masih ingat dengan Peristiwa Astana anyar, Bandung 7 Desember 2022 lalu.
Saat pelaku bom Astana Anyar, Bandung telah diidentifikasi yaitu Agus Jarno atau Agus Muslim pernah telibat bom Cicendo dan pernah dijebloskan di LP Nusakambangan. Ia bebas tapi masih katagori merah. Apa artinya?
Seperti yang disampaikan oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo di depan para wartawan yang menyebutkan, Agus Muslim merupakan anggota dari kelompok yang berafiliasi dengan JAD Jemaah Ansharud Daulah Bandung yang menjadi pelaku utama bom bunuh diri Bandung. Ketika ditanya oleh wartawan, apakah Agus Jarno pernah mengikuti deradikalisasi? Kapolri menjawab, pelaku pernah mengikuti program tersebut namun masih katagori merah.
Katagori merah artinya napi yang masih katagori ekstrem, dan masih memiliki paham radikal dan belum korperatif. Walaupun, menurut Kapolri Agus Muslim sudah mau berbaur dengan masyarakat.
Seperti diberitakan, telah terjadi peristiwa bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar yang menewaskan seorang polisi dan beberapa polisi luka ringan dan berat termasuk seorang masyarakat biasa.
Berhubungan dengan peristiwa tersebut sebuah buku menarik untuk disimak berhubungan dengan berita hari ini. Yaitu mengenai dua murid dari sebuah lembaga Islam yang cukup terkenal. Yaitu Ponpes Al Mukmin Ngruki.
Sejak berdirinya Ponpes Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo tahun 1972 baru tahun ini mengadakan upacara HUT Kemerdekaan RI ke 77. Ponpes ini cukup dikenal oleh masyarakat Indonesia karena beberapa alumninya dianggap terlibat dalam berbagai kasus te*orisme di Tanah Air.
Sebagai sebuah Lembaga Pendidikan Islam tentu saja Ponpes ini melahirkan banyak anak didik yang tentu beragam dalam mempraktekkan di masyarakat hasil belajar yang diperoleh dari Ponpes yang berada di Ngruki, Cemani, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah tersebut. Karena tidak adil juga bila kita memberi satu label kepada sebuah Lembaga pendidikan hanya karena satu atau dua orang terlibat dalam sebuah tindak kekerasan kemudian kita menganggap semuanya penuh dengan kekerasan.
Buku ini seperti menjadi bukti bahwa alumni dari sebuah Lembaga Pendidikan tidak mencetak sebuah pandangan tertentu dan bukan menjadi pencetak seseorang menjadi teroris atau bukan. Lembaga pendidikan memang tetap memiliki pandangan tertentu dan anak didiknya juga sesuai dengan visi dan misi serta tujuan dari Lembaga pendidikan itu sendiri. Dua pemuda yaitu Noor Huda dan Fadlullah Hasan memulai belajarnya di tempat yang sama yaitu Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki sejak mereka masih sangat muda. Belajar di tempat yang sama, menerima pendidikan dari guru-guru yang sama dan ditempa serta digembleng di Lembaga yang sama. Namun pada akhirnya jalan yang ditembuh keduanya sangat berbeda.
Seperti halnya sebuah pertemuan yang memiliki pengalaman mereguk bekersamaan dari tempat pendidikan yang sama biasanya akan meimbulkan kekangenan yang luar biasa dan bisa saja akan menjadi mudah. Tapi akan berbeda ketika keduanya dalam sebuah situasi yang jauh berbeda keadaannya. Noor Huda berada dalam dunia yang merdeka, sementara sahabatnya berada dalam penjara karena beberapa kasus kekerasan te*rosisme. Buku ini menjelaskan secara dramatis tapi juga di dalamnya penuh dengan pelajaran yang sangat menarik untuk diikuti kisahnya.
Judul buku: Temanku, Te*oris?: Saat Dua Santri Ngruki Menempuh Jalan berbeda.
Penulis buku ini adalah Noor Huda Ismail.
Buku diterbitkan oleh Penerbit Hikmah Memoar, Jakarta.
Tahun terbitan 2010.
Buku ini disajikan dalam bentuk bercerita di mana pertemuan yang terjadi sejak penulis dan tokoh pelaku te*roris yang sedang menjalankan hukumannya karena tindakan kekerasan yang dilakukan.
Bagi pemirsa media tv, wajah Noor Huda Ismail sering muncul menjadi narasumber dalam berbagai dialog di layar kaca sebagai ahli te*orisme. Memang pendekatan yang sering disampaikan adalah pendekatan kemanusiaan yang bukan hanya melihat te*orisme dari kejadian dan pelaku. Tapi lebih jauh bagaimana melihat kegiatan te*orisme dari sisi korban. Sisi korbanpun bukan hanya mereka yang terkena sasaran dari kekerasan te*or itu sendiri, tapi dari sisi pelaku termasuk di dalamnya keluarganya.
Berhubungan dengan Pondok Pesantren Ngruki di mana dua tokoh yang menjadi sentral dari kisah yang disampaikan dalam buku ini kita menjadi tahu bagaimana gambaran kehidupan di dalam Ponpes yang cukup terkenal tersebut. Karena memang kisahnya di antaranya mengambil setting di dalam Ponpes. Makanya dalam memberikan gambaran yang ditulis oleh Sujadi, Indonesia Bureuau Chief, Channel News Asia, menjelaskan di dalam buku ini secara jujur digambarkan kehidupan di dalam Pondok Pesantren tersebut.
Sangat menarik ketika mengamati perjalanan dari tokoh yang dikisahkan dalam buku ini yaitu Fadlullah Hasan oleh penulis yang menjadi kawan sejak awal di Ponpes Ngruki di mana jalan hidup menjadi berbeda dengan tokoh penulis yang mengambil pendidikan di IAIN. Sementara Hasan yang awalnya sebenarnya punya prinsip jelas yaitu lebih sungguh lagi dalam agamanya.
Jalan yang ditempuh untuk terus mengupdate kehidupan agamanya dengan bertemu tokoh-tokoh hebat yang dihormatinya di Malaysia dan bahkan ke Pakistan. Tujuan awalnya adalah memupuk imannya supaya lebih sungguh-sungguh lagi dalam beragama. Namun ketika bertemu dengan pengalaman-pengalaman yang bersinggungan dengan perjuangan Islam maka di kemudian hari Hasan terlibat dengan berbagai perjuangan dan bahkan mengantarnya ke penjara di Indonesia.
Dari segi penulisan, tentu saja penyajian buku ini boleh dibilang luar biasa. Penuturannya cukup runtut dan ketika kita membacanya sangat hidup seakan-akan peristiwanya ada di sekitar kita. Maklum sebagai jurnalis Noor Huda Ismail bukan orang baru. Ia sempat menjadi wartawan The Washington Post selama tiga tahun dari 2002-2005. Kelihaiannya menyampaikan fakta-fakta kepada pembaca sangat detail dan hidup. Makanya Riri Riza, seorang sutradara film menuturkan bahwa gaya penuturannya sangat menarik untuk diikuti.
Buku ini tidak sekedar berbicara mengenai jalan hidup yang ditempuh oleh kedua orang berbeda dengan pengalaman yang juga tidak sama, tapi lebih dari itu buku ini sarat dengan kemanusiaan. Makanya kenapa dalam Pengantar buku ini yang dipilih oleh penerbit adalah Buya Ahmad Syafii Maarif, seorang yang sangat terbuka dan tidak menyetujui jalan te*orisme untuk memperjuangkan prinsip.
Buya Syafii malah lebih luas dalam memberikan pandangannya mengenai te*risme dalam Kata Pengantarnya di mana ia menyebut bahwa mereka yang terlibat dalam te*orisme itu adalah korban dari adanya perang dingin antara blok kapitalisme dan komunisme dan berbagai konseksuensi yang akhirnya melahirkan berbagai kekerasan.
Seperti halnya peristiwa yang dikenal melalui tayangan Hotel Mumbai di mana pelakunya berakhir dengan tragis, maka buku yang disajikan ini menunjukkan bahwa pada dasarnya setiap orang memiliki sisi kebaikan yang bisa menolong orang lain. Tergantung siapa yang mengarahkan pikiran dan jalan hidupnya para pelaku.
Bertemu dengan orang yang salah, maka kemungkinan besar akan menempuh jalan yang salah pula. Namun berjumpa dengan orang benar, maka kebenaran juga yang akan diterimanya. Terpenting adalah, berubah adalah kata yang tepat untuk memperbaiki diri.
Posting Komentar
0 Komentar