Bisakah Manusia Bahagia di Saat Ia Menderita?

Daftar Isi

Benarkah kebahagiaan hanya milik orang kaya dan si miskin tidak bisa menikmatinya? Tidak kata Epictetus. Karena kalau demikian halnya, maka kebahagiaan datang hanya karena keberuntungan. Padahal kebahagiaan hak semua orang dan mencapainya dengan melatih diri sendiri, setiap hari.

Kebahagiaan sering diidentikkan adanya dukungan dari luar seperti uang, harta benda dan bahkan orang-orang di sekitar serta tanpa adanya gangguan fisik. Tapi bisa kah kita bahagia tanpa semua dukungan tersebut dan bahkan di saat menderita?

Kebahagiaan yang didasarkan oleh berbagai hal yang sifatnya dari luar diri manusia akan bersifat semu. Kebahagiaan itu akan hilang bersamaan dengan hilangnya semua pendukung tersebut. Makanya cara untuk mempertahankannya adalah dengan mempertahankan sekuat tenaga pendukung kebahagiaan itu sendiri. Berbeda dengan kebahagiaan sejati, yang ditawarkan oleh Epictetus, seorang budak, timpang dan lumpuh karena perlakuan tuannya.

Menurut Epictetus, kebahagiaan sejati itu bukan berasal dari harta benda, kekayaan melimpah atau status sosial, tapi kebahagiaan itu dapat diperoleh melalui pengendalian diri dan ketenangan batin dalam menghadapi apa pun dalam hidup ini. Melatih diri dan disiplin supaya tidak terpengaruh oleh hal-hal yang sifatnya dari luar yaitu adanya kesenangan atau penderitaan. Begitu juga kita jangan mengharapkan apalagi memaksa dunia mengikuti sesuai keinginan kita, tapi berusahalah untuk menyesuaikan dengan situasi yang ada di sekitar kita.

Bagi Epictetus dan ajarannya, bahwa manusia tidak dapat mengendalikan kehidupan ini, melainkan bagaimana merespon kehidupan itu sendiri. Karenanya Epictetus mendedikasikan kehidupannya untuk menguraikan bagaimana hidup sederhana untuk mencapai kebahagiaan, kepuasan dan ketenangan. Epictetus sendiri sebenarnya tidak menyusun buku-buku sebagai hasil penelusuran yang digelutinya, dan berkat muridnya yang mencatat ajaran-ajarannya tersebut sehingga lahirlah beberapa karya luar biasa mengenai kebahagiaan hidup berdasar Stoik. 

Tentu saja apa yang diajarkan oleh Epictetus ini bukan hanya sekedar teori atau omon-omonnya, tapi ia telah memberikan contoh dari hidupnya bagaimana ia mendapatkan kebahagiaan ketika ia dalam kondisi menderita. Untuk diketahui bahwa Epictetus lahir dalam dunia perbudakan pada tahun 55 Masehi di bawah pemerintahan Kekaisaran Romawi. Epictetus dari kecil sudah dijual sebagai budak dan dipukul tuannya hingga lumpuh. 

Ajaran-ajaran Epictetus tentang konsep kebahagiaan sejati tersebut dirangkum dalam buku yang akan diperkenalkan kepada Anda berikut ini.

Judul      : The Art of Living: Panduan Filosofis untuk Mewujudkan Hidup Bahagia dengan Mengontrol Pikiran dan Tindakan

Karya     : Epictetus

Penerbit  : CV. Indoliterasi Publishing House

Tahun     : Yogyakarta, tahun 2025

Halaman : 122 halaman; 14 x 20 cm

Buku ini merupakan bagian dari karya Epictetus mengenai kebahagiaan yang bisa dicapai oleh siapapun dengan konsep filsafat Stoik. Sebuah karya yang dikumpulkan oleh murid Epictetus, seorang filsuf Yunani abad pertama yang isinya mengenai bagaimana mencapai kebahagiaan dalam hidup di dunia ini dengan kebajikan dan ketenangan batin. Caranya adalah dengan memahami apa yang bisa kita kendalikan dan apa yang tidak bisa kita kendalikan.

Mengambil fokus terhadap hal-hal yang bisa kita kendalikan dan yang tidak terhadap pikiran, sikap dan tindakan kita sendiri, dan tidak berfokus kepada apa yang ada di luar, seperti opini siapapun, dan semua peristiwa yang ada di luar kita. Kemudian kebahagiaan itu bisa diraih ketika kita hidup dengan kebajikan dan hidup benar, jujur, adil, dan berusaha untuk mengendalikan diri dalam segala hal.

Hal lain yang bisa diterapkan guna mencapai kebahagiaan selama kita hidup dengan menghindari keserakahan, dan mengikuti keinginan yang tidak pernah ada batasnya. Dalam hal ini kita bertindak menghindari keterikatan kepada hal-hal duniawi dan hawa nafsu. Hiduplah dengan sederhana dan pengendalian diri.

Yakinlah bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini karena berjalannya takdir, sehingga apapun yang terjadi itu merupakan fakta yang harus diterima dengan lapang dada. Alam memiliki hukumnya sendiri, makanya kita perlu untuk menerimanya, bukan malah dengan kemarahan dan kegeraman, apalagi keluhan yang tak pernah habis.

Akhirnya, Epictetus seakan memberikan saran dan wejangan kepada setiap orang di zaman yang riuh rendah saat ini untuk tetap bersikap tenang dalam menghadapi semuanya. Kerjakanlah apa yang kita mampu lakukan dan bila itu di luar kendali kita, maka biarlah itu terjadi dan berdisiplin untuk tidak mempengaruhi kehidupan kita.

Posting Komentar