Why Nations Fail: Mengapa Negara Gagal dan Pelajaran untuk Indonesia dari Singapura

Dalam dunia ekonomi global yang penuh ketidakpastian, pertanyaan “mengapa negara gagal” sering kali menghantui pemimpin dan masyarakat di negara berkembang. Buku Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson menjawabnya dengan tajam, menekankan bahwa kunci kemakmuran bukanlah geografi, budaya, atau sumber daya alam semata, melainkan institusi—aturan main politik dan ekonomi yang dibangun oleh masyarakat. 

Bagi pembaca di Indonesia, buku ini relevan banget: negara kita yang kaya sumber daya tapi masih bergulat dengan kemiskinan struktural. Artikel ini akan menganalisis tesis utama buku tersebut, dengan pendekatan perbandingan Indonesia vs Singapura, serta tantangan unik untuk negara besar seperti kita. Mari kita bedah bagaimana Why Nations Fail bisa jadi panduan reformasi.

Tesis Utama Why Nations Fail: Institusi sebagai Penentu Kemakmuran

Why Nations Fail bukan sekadar buku ekonomi; ini adalah narasi sejarah yang hidup, mengurai perbedaan antara negara kaya seperti Amerika Serikat dan negara miskin seperti Zimbabwe. Acemoglu dan Robinson berargumen bahwa institusi inklusif mendorong inovasi dan pertumbuhan, sementara institusi ekstraktif menciptakan siklus kemiskinan.

Institusi inklusif memberikan hak properti yang aman, akses pasar yang adil, dan partisipasi politik luas—semua ini menciptakan “virtuous circle” di mana kekayaan dibagi dan insentif berinovasi tinggi. Sebaliknya, institusi ekstraktif memusatkan kekuasaan pada elite, di mana korupsi dan eksploitasi jadi norma, menghambat kreativitas. Buku ini menggunakan “critical junctures” seperti Revolusi Glorious di Inggris (1688) sebagai contoh bagaimana perubahan institusi bisa mengubah nasib bangsa.

Mengapa tesis ini penting? Karena menolak penjelasan lama seperti “jarak dari khatulistiwa” (Jared Diamond) atau “etos Protestan” (Max Weber). Sebaliknya, Why Nations Fail menunjukkan bahwa sejarah kolonial sering meninggalkan warisan ekstraktif di negara berkembang, yang sulit diubah tanpa reformasi sadar.

Institusi Inklusif vs Ekstraktif: Contoh dari Asia Tenggara

Untuk memahami konsep ini, mari kita lihat dua tetangga di Asia Tenggara: Singapura dan Indonesia. Keduanya mewarisi kolonialisme Eropa, tapi jalur institusinya beda jauh—dan hasilnya mencolok di angka-angka ekonomi terkini.

Singapura, dengan populasi kecil sekitar 6 juta jiwa, punya institusi yang relatif inklusif meskipun pemerintahan otoriternya. Legacy British di sana fokus pada perdagangan bebas dan rule of law, yang dilanjutkan oleh Lee Kuan Yew pasca-1965. Hasilnya? Birokrasi anti-korupsi yang kuat dan kebijakan export-oriented yang menarik investasi asing. Pada 2025, GDP per kapita Singapura diproyeksikan mencapai US$92.930, menjadikannya salah satu yang tertinggi di dunia. Di Corruption Perceptions Index (CPI) 2024, Singapura skor 84/100, ranking ketiga global sebagai negara paling bersih dari korupsi.

Sebaliknya, Indonesia—dengan 270 juta penduduk dan keragaman etnis yang luar biasa—terjebak dalam institusi ekstraktif. Kolonialisme Belanda via Cultuurstelsel (tanam paksa) meninggalkan sistem di mana elite lokal dieksploitasi, bukan diberdayakan. Era Orde Baru memperburuknya dengan kronisme, dan meskipun Reformasi 1998 membawa demokrasi, oligarki bisnis-politik masih dominan. Akibatnya, GDP per kapita kita hanya sekitar US$5.030 pada 2025, jauh tertinggal. CPI 2024 untuk Indonesia? Hanya 37/100, menunjukkan korupsi tetap jadi penghalang utama inovasi dan investasi.

Perbandingan Indonesia vs Singapura ini sesuai Why Nations Fail: Singapura punya “titik kritis” positif pasca-kemerdekaan, sementara kita struggle dengan vicious circle di mana konflik kepentingan antar-elite menghambat reformasi.

Tantangan Institusi untuk Negara Besar seperti Indonesia

Ukuran besar Indonesia bukan kutukan, tapi tantangan yang bikin transisi ke institusi inklusif lebih rumit. Buku Acemoglu-Robinson kasih contoh negara besar seperti Meksiko atau Nigeria, di mana keragaman justru dimanfaatkan elite untuk mempertahankan power. Di Indonesia, “berjibun kepentingan” dari daerah hingga pusat—plus ribuan pulau—bikin koordinasi sulit. Desentralisasi pasca-1998 bagus secara teori, tapi sering jadi alat bagi-bagi kekuasaan ke kroni, bukan pemberdayaan lokal.

Lalu, bagaimana formula tepat? Why Nations Fail tekankan perubahan gradual, bukan revolusi berdarah. Mulai dari perkuat lembaga seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) agar independen, dorong transparansi via digital governance, dan reformasi pendidikan untuk ciptakan generasi inovatif. Singapura buktiin bahwa bahkan negara kecil bisa gagal tanpa adaptasi, sementara kita punya potensi pasar domestik raksasa.  

Tapi, buku ini juga dikritik karena kurang tekankan faktor eksternal seperti globalisasi atau pandemi. Di era 2025, dengan transisi energi global, Indonesia bisa pakai sumber daya alamnya (nikel, sawit) untuk virtuous circle—asal institusi inklusifnya kuat.

Kesimpulan: Menuju Kemakmuran Inklusif ala Why Nations Fail

Why Nations Fail bukan cuma analisis; ini panggilan untuk aksi. Mengapa negara gagal? Karena institusi ekstraktif yang ekstrak kekayaan untuk segelintir, bukan bagi untung untuk semua. Bagi Indonesia, pelajaran dari Singapura jelas: power harus didistribusikan adil, hukum ditegakkan tegas, dan reformasi gradual dibangun. Dengan GDP per kapita yang masih rendah dan CPI yang memprihatinkan, saatnya kita ciptakan critical juncture baru—mungkin lewat kebijakan Prabowo atau inisiatif masyarakat sipil.

Jika Anda tertarik dengan analisis buku Why Nations Fail lebih lanjut, baca ulasan lengkapnya atau diskusikan di komentar. Bagaimana menurut Anda: apa reformasi pertama yang harus dilakukan Indonesia untuk jadi seperti Singapura? Share pendapatmu!

Posting Komentar untuk "Why Nations Fail: Mengapa Negara Gagal dan Pelajaran untuk Indonesia dari Singapura"