Joshua Harris dan I Kissed Dating Goodbye: Sebuah Refleksi tentang Perubahan Keyakinan dan Pergulatan Iman
Joshua Harris dan I Kissed Dating Goodbye: Sebuah Refleksi tentang Perubahan Keyakinan dan Pergulatan Iman
Setiap orang bisa berubah sewaktu-waktu. Ungkapan ini terasa sangat nyata ketika melihat perjalanan hidup seorang penulis terkenal yang mengubah total pola pikir, keyakinan, bahkan jalan hidupnya. Perubahan, khususnya dalam hal keyakinan, bukanlah sesuatu yang asing dalam perjalanan manusia. Seiring dengan dinamika kehidupan, banyak individu yang berpindah dari satu agama ke agama lain, atau meninggalkan kepercayaannya sama sekali, setelah melalui pergulatan batin yang dalam.
Bagi para pecinta buku, khususnya dari kalangan Kristen, nama Joshua Harris tentu tidak asing. Harris adalah penulis buku I Kissed Dating Goodbye, sebuah karya yang sempat menjadi fenomena di kalangan anak muda Kristen di Amerika Serikat dan bahkan di Indonesia. Buku tersebut, yang dalam edisi Indonesia diterbitkan oleh Immanuel Bookstore & Publishing House dengan tambahan subjudul Sebuah Perspektif Baru dalam Berpacaran dan Menjalin Hubungan, berhasil terjual lebih dari satu juta kopi.
Namun, yang mengejutkan adalah fakta bahwa Joshua Harris sendiri kini menolak gagasan-gagasan yang pernah ia tuangkan dalam buku tersebut. Ia mengakui bahwa I Kissed Dating Goodbye memiliki banyak kekeliruan, hingga akhirnya ia menarik buku itu dari peredaran. Perubahan pandangan ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia merupakan bagian dari transformasi besar dalam kehidupan Harris, yang berpuncak pada keputusannya untuk meninggalkan iman Kristennya dan melepaskan pelayanannya sebagai pendeta di Covenant Life Church, sebuah gereja besar dengan lebih dari 3.000 jemaat.
Perubahan keyakinan Joshua Harris seolah menegaskan bahwa perjalanan iman seseorang tidak selalu linear. Dalam banyak kasus, perubahan besar dalam hidup—termasuk dalam soal kepercayaan—seringkali diawali oleh pergumulan berat dan pengalaman hidup yang mengguncang. Demikian pula dengan Harris.
Pada pertengahan Juli 2019, Joshua Harris mengumumkan bahwa ia dan istrinya, Shannon, telah bercerai. Sebuah langkah yang dalam komunitas Kristen, terutama di kalangan pemimpin gereja, dipandang sebagai tragedi yang diupayakan untuk dihindari sebisa mungkin. Perceraian, tentu saja, bukanlah keputusan sekejap. Ia merupakan akumulasi dari konflik, ketidakcocokan, dan pergulatan batin yang panjang.
Dari pengalaman Joshua Harris, kita melihat bagaimana manusia—sekuat apapun tekad dan keyakinannya di masa lalu—tetap rentan terhadap perubahan. Seperti dalam banyak kisah perpindahan iman yang lain, perubahan yang dialami Harris menunjukkan betapa pentingnya bagi kita untuk memahami bahwa iman bukan hanya soal teori, tetapi juga soal bagaimana seseorang menghidupi keyakinannya di tengah realitas hidup yang keras.
Refleksi dari perjalanan Harris juga menyentil kita semua untuk lebih rendah hati dalam memahami perjalanan spiritual manusia. Sebab, setiap orang berada dalam proses, dan proses itu bisa membawa mereka ke arah yang tidak pernah kita duga sebelumnya.
Persoalannya adalah buku yang memuat mengenai bagaimana seharusnya berpacaran yang baik, atau kalau tidak mungkin mirip-mirip dengan kelompok yang menggaungkan, menikah tanpa pacaran. Karena di dalam pacaran itu ada kegiatan seperti berpegangan tangan, berciuman dan hal-hal yang tidak benar.
Makanya buku yang laris manis yang ditulis Joshua Harris itu benar-benar menjadi sebuah gagasan yang akhirnya dimentahkan sendiri oleh penulisnya ketika dirinya mengumumkan sudah bercerai dengan istrinya tersebut.
Makanya tidak lama setelah Joshua Harris mengumumkan perceraiannya, ia kemudian mengumumkan bahwa dirinya sudah bukan lagi sebagai orang Kristen.
Posting Komentar