Mengelola Emosi dalam Situasi Sulit: Ulasan Buku Never Get Angry Again karya Dr. David Lieberman
Saat Kemarahan Meledak di Depan Mata: Refleksi dari Sebuah Restoran
Sebuah peristiwa yang sulit dilupakan terjadi di sebuah restoran. Saya dan tiga teman tengah menikmati makanan tradisional, duduk mengelilingi meja sambil berbagi cerita. Tak jauh dari tempat kami duduk, di meja sebelah, tampak tiga orang dewasa dan dua anak-anak sedang makan bersama. Suasana tampak biasa saja—hingga tiba-tiba, suara pecahan piring mengagetkan semua orang. Seorang pria paruh baya, mungkin sekitar 60 tahun, berdiri dan berteriak dengan kemarahan yang begitu meledak-ledak ke arah dua orang lainnya di meja tersebut.
Kami spontan menoleh karena kaget. Namun, reaksi kami justru memperburuk situasi—sang pria makin menjadi-jadi. Dua orang yang menjadi sasaran amarahnya hanya memberikan isyarat halus pada kami, seolah berkata: “Jangan diladeni.” Kami pun memilih untuk menahan diri dan perlahan menjauh.
Peristiwa itu begitu membekas. Betapa kemarahan, jika tidak dikendalikan, bisa menciptakan kekacauan dalam sekejap. Hal inilah yang membuat saya tertarik mendalami buku Never Get Angry Again karya Dr. David J. Lieberman.
Ulasan Buku Never Get Angry Again: Cara Mengatasi Amarah Tanpa Drama
Dr. David Lieberman, penulis buku laris versi New York Times, menyuguhkan pendekatan yang berbeda dalam memahami dan mengelola kemarahan. Bukan sekadar tips menenangkan diri, buku ini menelusuri akar psikologis mengapa seseorang mudah marah, dan bagaimana cara mengelola emosi dengan cara yang bijak, cepat, dan efektif.
Salah satu poin menarik dari buku ini adalah bagaimana kita sering terjebak dalam pola lama—di mana kita bereaksi, bukan merespons. Lieberman mengajak kita untuk tidak melihat kemarahan sebagai “musuh yang harus disembunyikan”, melainkan sebagai sinyal akan adanya ketidakseimbangan dalam pikiran dan perasaan.
Dalam kasus yang saya saksikan di restoran, mungkin sang pria merasa kehilangan kontrol atas situasi yang baginya memalukan atau menyakitkan. Sayangnya, yang terjadi justru pelampiasan tak terkendali. Lieberman menyebut reaksi semacam ini sebagai bentuk "externalizing", yaitu ketika seseorang memproyeksikan masalah internalnya kepada orang lain.
Mengapa Kita Harus Belajar Mengelola Kemarahan?
Membaca Never Get Angry Again membuat saya sadar bahwa selama ini kita sering gagal dalam menghadapi kemarahan karena kita tidak melatih diri sebelum situasi itu terjadi. Buku ini mengajarkan bahwa kemampuan mengendalikan amarah bukanlah soal menekan emosi, tetapi mengubah pola pikir.
Alih-alih menunggu amarah meledak, buku ini mendorong pembaca untuk mengenali tanda-tandanya sejak dini. Ketika kita mulai merasa tersinggung, diremehkan, atau tidak dihargai—itulah saatnya kita mengatur ulang pikiran dan mengambil jeda. Ini bukan kelemahan, tapi kekuatan.
Judul Buku : Never Get Angry AgainPenulis : David J Lieberman, Ph.D
Penerbit : PT. Bentara Aksara Cahaya (BACA),
Tahun Terbit : Jakarta, April 2019
Beberapa teknik yang pernah kita dengar untuk mengelola kemarahan itu seperti; 1. menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi ketegangan. 2. menghitung angka 1 sampai 10 supaya kemarahan tadi tidak dilanjutkan dengan mencoba memfokuskan diri kepada hitungan tadi. 3. melakukan meditasi, yang tentu bila kemarahan yang tiba-tiba tidak mungkin bisa dilaksanakan, kecuali memang kemarahan itu menjadi sebuah gurauan. Tapi bila kemarahan itu sifatnya panjang, meditasi mungkin bisa saja membantu. Kalau beragama, mungkin perbanyak berdoa dan berdoa, termasuk mendoakan orang yang telah membuat kita marah. 4. memvisualisasikan kebahagiaan kita. Tapi, apakah semua teknik-teknik tadi bisa meredam kemarahan kita?
Kata penulis buku ini dalam Pendahuluannya, "Akui saja, jika teknik-teknik pengelolaan amarah itu dianggap efektif, kau tidak akan membaca buku ini." Tekhnik-tekhnik itu terkadang tidak ada gunanya dan melelahkan secara emosional. Sebenarnya penulis buku ini ingin meluruskan bahwa persoalan kemarahan itu karena sudut pandang. Dia mencontohkan, seorang anak kecil yang mainannya rusak sehingga ia begitu marahnya sampai-sampai ia berpikir dunianya sudah hancur. Sementara dia melupakan hal-hal baik yang diterimanya, bisa makan, bisa tidur tidak kehujanan. Sementara bagi orang tuanya, mainan itu tidak terlalu penting. Jadi respon terhadap sesuatu yang membuat marah itulah yang menjadikan kita dikuasai oleh kemarahan. Nah, buku ini memberikan hal penting bagaimana kita bisa mengubah sudut pandang ketika kemarahan itu benar-benar menguasai kita. Memiliki sudut pandang yang luas dalam merosponi sesuatu akan menjadikan kita bisa mengelola kemarahan yang datang dalam hidup kita.
Tapi bagaimana ketika kita menghadapi hal-hal yang dianggap besar yang bisa menimbulkan kemarahan yang berkepanjangan, sementara obyek pemicu kemarahan itu terus berlangsung. contohnya kemarahan karena penyakit, ketidakadilan atau trauma? Pengelolaan kemarahan dengan jenis di atas tentu saja seperti kita membunuh hama, di mana kita harus terus-menerus berusaha menyemprotkan pembasmi hama itu supaya tidak terus tumbuh. Ibaratnya, buku ini berisi cara-cara seperti membunuh hama yaitu kemarahan tadi.
Beberapa point penting yang duiungkap dalam buku ini akan memiliki manfaat bagi kita sebagai pembaca bagaimana mengelola kemarahan itu sendiri. Makanya buku setebal 240 halaman ini perlu dibaca oleh siapapun yang sampai saat ini masih memiliki pergumulan berperang menghadapi kemarahan yang ada di dalam hidup kita. Karena dari buku ini penulis membawa pembacanya untuk belajar bagaimana memiliki sudut pandang yang luas mengenai sebuah persoalan.
Kesimpulan: Amarah Tak Harus Menjadi Penguasa Hidup Kita
Buku Never Get Angry Again bukan hanya bacaan motivasi, tapi panduan praktis untuk siapa pun yang ingin hidup lebih damai, terutama di era sekarang yang penuh tekanan. Melalui pendekatan psikologis yang lugas, Dr. Lieberman memberikan kita alat untuk tetap tenang, bahkan dalam situasi paling menjengkelkan sekalipun.
Peristiwa di restoran itu mungkin hanya satu dari ribuan contoh kemarahan tak terkendali di sekitar kita. Tapi kita bisa memilih: menjadi bagian dari reaksi berantai, atau menjadi pribadi yang merespon dengan kedewasaan dan kendali diri.
Posting Komentar