Empati dalam Dunia Tanpa Kehendak Bebas

Daftar Isi

Apakah kita sungguh memiliki kehendak bebas?
Pertanyaan ini terasa provokatif, bahkan mengusik. Tapi itulah yang diajukan Sam Harris dalam bukunya yang ringkas namun tajam berjudul Free Will. Ia menyatakan bahwa kehendak bebas, yang sering kita banggakan sebagai inti kemanusiaan, sebenarnya hanyalah ilusi.

Gagasan ini tampak gelap di awal. Jika kita tidak benar-benar memilih pikiran atau tindakan kita, apakah hidup masih bermakna? Namun, Harris justru ingin membawa pembaca ke arah yang lebih terang: bahwa menghapus ilusi kehendak bebas bisa membuka jalan menuju empati yang lebih mendalam.

Kita Tidak Memilih untuk Menjadi Diri Kita

Bayangkan seseorang yang sangat berbeda denganmu. Mungkin dia memegang pandangan politik yang keras, atau bersikap kasar, atau melakukan hal-hal yang sulit kamu maafkan.
Menurut Harris, orang itu—seperti kamu—adalah hasil dari rangkaian sebab-akibat yang tak dipilihnya sendiri:

Ia tidak memilih genetiknya,

Tidak memilih lingkungan masa kecilnya,

Tidak memilih trauma atau pengaruh budaya yang membentuk pikirannya,

Bahkan tidak memilih pikiran yang muncul dalam benaknya saat ia membuat keputusan.


Dengan kata lain, kita semua adalah akibat, bukan pencipta murni dari kehendak kita.


Judul            : Free Will

Penulis        : Sam Harris

Penerbit      : CV. Global Indo Kreatif

Tahun         : Cetakan 1, Januari 2019

Halaman    : 78 halaman

Dari Pemaafan ke Pemahaman

Menerima bahwa kehendak bebas tidak nyata tidak membuat kita apatis atau membiarkan kejahatan merajalela. Justru sebaliknya.
Ia menggeser fokus kita: dari hukuman ke pemulihan, dari penghakiman ke pemahaman.

Empati bukan berarti membenarkan semua tindakan. Tapi ia muncul dari kesadaran bahwa bahkan orang yang melakukan keburukan mungkin tidak bisa tidak melakukannya, karena kondisi batin dan lingkungan yang membentuknya.

Empati semacam ini tidak sentimental. Ia berdiri di atas landasan logis: jika kamu tak bisa memilih menjadi seperti kamu sekarang, maka orang lain pun tidak.


Menjadi Bebas dari Ilusi

Ironisnya, menyadari bahwa kita tidak memiliki kehendak bebas justru membuat kita bebas dari ilusi tentang superioritas moral, tentang “aku lebih baik karena aku memilih lebih baik.”

Kita mulai melihat bahwa orang-orang yang tidak sejalan dengan kita bukan musuh yang layak dibenci, melainkan manusia yang, seperti kita, terjerat dalam jaring sebab-akibat kehidupan.

Dan di titik ini, empati bukan lagi pilihan etis, melainkan hasil pemahaman yang jernih.


Penutup

Sam Harris tidak sedang mengajak kita menjadi pesimis. Ia mengajak kita menjadi manusia yang lebih realistis, dan karena itu, lebih manusiawi. Dengan menanggalkan ide romantis tentang kehendak bebas, kita justru menemukan ruang yang lebih luas untuk pengertian, perbaikan, dan pengampunan.

Karena dalam dunia tanpa kehendak bebas, empati adalah satu-satunya kebebasan sejati yang tersisa.

Posting Komentar