Ketika Sains dan Mitos Bertemu: Refleksi dari The Magic of Reality karya Richard Dawkins
Apakah pelangi adalah busur dewa, atau sekadar bias cahaya? Apakah hidup muncul dari tangan pencipta, atau hasil proses miliaran tahun? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak hanya memenuhi ruang filsafat dan agama, tetapi juga menjadi inti dari buku The Magic of Reality karya Richard Dawkins.
Berbeda dengan karya-karyanya yang lebih tajam seperti The God Delusion, kali ini Dawkins menyusun narasi yang lebih ramah—mengajak pembaca dari segala latar belakang untuk berpikir ulang tentang bagaimana kita menjawab pertanyaan besar dalam hidup: dari mana kita berasal, apa penyebab gempa, hingga apa arti “keajaiban” itu sendiri.
Dalam setiap bab, Dawkins menyandingkan mitos-mitos dari berbagai budaya dengan penjelasan ilmiah. Ia tidak serta-merta menghina mitos, tapi menunjukkan bahwa walaupun menarik secara simbolik, mitos tidak berdiri di atas fondasi bukti. Sebaliknya, sains—yang tumbuh dari pengamatan, eksperimen, dan proses yang bisa dikoreksi, menyediakan pemahaman yang lebih kokoh tentang realitas.
Semua budaya punya mitos penciptaan, Dawkins menunjukkan bahwa hampir setiap masyarakat di dunia memiliki kisah asal-usulnya sendiri. Misalnya Dalam mitologi Nordik, dunia berasal dari tubuh raksasa yang dibunuh. Dalam tradisi Hindu, alam semesta muncul dari telur kosmik atau dari tubuh dewa Purusha. Dalam tradisi Abrahamik, Tuhan menciptakan dunia dalam 6 hari. Bahkan kita di Indonesia banyak mitos yang bisa kita daftarkan. Maksudnya: mitos ini muncul karena manusia dulu belum punya cara ilmiah untuk memahami alam.
Mitos adalah penjelasan awal yang intuitif, tapi keliru. Mitos-mitos penciptaan tidak berdasar bukti—mereka dibentuk oleh imajinasi, ketakutan, dan kebutuhan untuk menjelaskan hal yang belum dipahami. Dawkins tidak merendahkan mitos sebagai bentuk ekspresi budaya, tetapi dia menolak validitasnya sebagai penjelasan nyata tentang bagaimana dunia benar-benar terbentuk.
Sains bekerja karena berdasarkan bukti dan bisa diuji. Sebagai tandingan mitos, Dawkins menjelaskan bahwa sains berdasarkan observasi dan eksperimen. Dapat diuji dan dikoreksi—jika salah, bisa diperbaiki. Memberi penjelasan yang teruji waktu dan bisa digunakan untuk memprediksi fenomena. Untuk penciptaan, misalnya, teori Big Bang dan evolusi biologis adalah hasil ribuan tahun pencarian ilmiah yang logis dan terukur.Realitas ilmiah lebih “ajaib” daripada mitos. Dawkins ingin mengajak pembaca melihat bahwa keajaiban sebenarnya terletak pada kenyataan yang bisa dijelaskan sains bahwa semua makhluk hidup berasal dari nenek moyang bersama lewat evolusi. Bahwa bintang-bintang terbentuk dari debu kosmik yang menyatu oleh gravitasi. Bahwa atom-atom di tubuh manusia berasal dari bintang yang meledak miliaran tahun lalu. Baginya, kebenaran ilmiah tidak butuh keajaiban supranatural—realitas itu sendiri sudah luar biasa.
Judul : The Magic of Reality: Sihir Realitas
Penulis : Richard Dawkins
Penerbit : KPG
Tahun : Jakarta, Cetakan 3 Tahun 2024
Halaman : vii + 200 halaman
Namun, justru di sinilah letak keindahan buku ini: ia tidak memaksa pembaca untuk memilih sains dan meninggalkan keyakinan. Ia hanya menyodorkan pilihan: bahwa keajaiban dunia nyata bisa sama menakjubkannya, atau bahkan lebih, daripada cerita-cerita yang kita dengar sejak kecil.
Sebagai pembaca, kita diajak merenung, apakah kita bersedia mengganti dongeng dengan data? Apakah sains membuat hidup kita kehilangan makna, atau justru menambah kedalaman rasa kagum kita pada alam?
Akhirnya, The Magic of Reality bukan sekadar buku sains. Ia adalah undangan terbuka untuk berpikir ulang tentang apa yang kita yakini sebagai "nyata." Dan keputusan akhirnya? Tetap ada di tangan masing-masing pembaca.
Posting Komentar