Membongkar Seksualitas Perempuan: Mengakhiri Tradisi Menjadikan Perempuan sebagai Objek

Daftar Isi

“Tubuh perempuan tak pernah netral. Ia selalu menjadi sasaran tafsir, kontrol, bahkan kekerasan. Tapi sudah cukup lama kita diam.”

Ketertarikan saya terhadap buku Membongkar S3ksualitas Perempuan yang Terbungkam oleh Hegemoni Hetero-normativitas bukan semata karena judulnya yang kuat, tapi karena ia hadir di tengah ingatan kita akan tragedi kelam tahun 1998: p3merkosaan massal terhadap perempuan etnis tertentu di Indonesia. Walaupun buku ini tidak secara khusus membahas tragedi itu, saya merasa ada benang merah yang nyata, yaitu bagaimana tubuh perempuan terus-menerus dijadikan objek oleh kekuasaan, baik yang berselimut norma maupun kekerasan fisik.

S3ksualitas yang Dikontrol, Diatur, dan Dibungkam

Buku ini merupakan hasil kerja kolaboratif antara peneliti-aktivis dari Indonesia dan India. Ia membongkar bagaimana hegemoni heteronormativitas, yakni keyakinan bahwa hubungan heteros3ksual adalah satu-satunya yang "normal" dan sah, telah membentuk cara berpikir dan sistem sosial yang menekan seksualitas perempuan.

Fokus utamanya tertuju pada tiga kelompok perempuan: janda, pekerja seks, dan lesbian. Tiga kelompok ini sering kali menjadi sasaran pelabelan, penghakiman, bahkan pengasingan sosial. Mereka diposisikan sebagai "penyimpang" dari norma, meskipun sejatinya yang menyimpang adalah sistem yang tak memberi ruang bagi keragaman dan otonomi s3ksual.

Melalui pendekatan kisah hidup, buku ini membuka suara-suara yang kerap dibungkam. Tentang janda yang dianggap bebas secara seksual, pekerja seks yang dikriminalisasi, dan lesbian yang harus hidup sembunyi karena takut pada stigma dan kekerasan.

Dari Norma ke Kekerasan: Tubuh Perempuan Sebagai Medan Kuasa

Jika kita menengok kembali pem3rkosaan massal 1998, kita menyaksikan bagaimana tubuh perempuan dipakai sebagai alat intimidasi politik. Kekerasan s3ksual bukan sekadar kekejaman individu, tapi bagian dari struktur kuasa: menjatuhkan martabat komunitas dengan menyerang tubuh para perempuannya. Hal itu tak terlepas dari bagaimana perempuan sebelumnya telah diposisikan sebagai objek—bukan subjek utuh—oleh norma-norma yang dominan.

Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin tak semua perempuan mengalami kekerasan fisik, tetapi banyak yang hidup dalam ketakutan akan stigma, pengucilan, bahkan kehilangan hak atas tubuhnya sendiri. Kekerasan simbolik ini sama nyatanya, sama membungkamnya.


Hentikan Menjadikan Perempuan sebagai Objek

Sudah terlalu lama tubuh perempuan menjadi "lahan" bagi tafsir, aturan, dan sanksi sosial. Dengan dalih moral, agama, adat, bahkan nasionalisme, perempuan diperlakukan bukan sebagai manusia utuh, tetapi sebagai objek yang bisa dikendalikan.

Buku ini mengajak kita menyadari bahwa seksualitas bukan hanya soal tubuh dan relasi, tapi soal kuasa—siapa yang boleh menentukan, dan siapa yang harus diam.

Kita perlu memutus rantai yang terus menjadikan perempuan sebagai simbol, alat, atau objek, baik untuk kepentingan politik, budaya, atau ekonomi. Baik di jalanan, di media sosial, di ruang hukum, maupun di dalam keluarga.

Mari Menjadi Suara yang Tidak Lagi Membisu

Buku ini bukan hanya bahan bacaan, tapi bahan bakar kesadaran. Ia mengajak kita membuka mata dan hati untuk mendengar cerita-cerita yang selama ini dibungkam. Ia mendorong kita untuk tidak menjadi penonton pasif dalam sistem yang menindas.

Sebagai pembaca, saya merasa terdorong untuk tak hanya bersimpati, tetapi juga ikut menyuarakan: cukup sudah menjadikan perempuan sebagai objek—dalam bentuk apa pun, dengan motif apa pun. Mulailah mendengar. Mulailah memanusiakan.

Posting Komentar