Snouck Hurgronje: Ketekunan Seorang Ilmuwan, Kontroversi Seorang Kolonialis

Daftar Isi


Nama Snouck Hurgronje bukanlah nama asing dalam sejarah Indonesia. Sebagian besar orang mengenalnya sebagai tokoh kolonial Belanda yang "berpura-pura masuk Islam" demi menyusup ke Mekkah dan kemudian memberi nasihat kepada pemerintah Belanda dalam menaklukkan Aceh. Penilaian ini tentu tidak keliru, tetapi juga tidak sepenuhnya lengkap. Lewat buku biografi yang diterbitkan oleh Buku Obor, kita menemukan sisi lain dari sosok ini: seorang peneliti yang sangat serius dan tekun dalam memahami Islam dari sumbernya yang paling otentik.

Menyusup atau Meneliti?

Dalam konteks hari ini, tindakan Snouck yang menyamar sebagai Muslim dan hidup di Mekkah bisa dinilai sebagai pelanggaran etika. Ia memang tidak sungguh-sungguh memeluk Islam, tapi bertindak seolah-olah seorang mualaf agar bisa masuk ke wilayah suci dan hidup bersama komunitas Muslim.

Namun dari sisi keilmuan, ada pelajaran besar di sini: keingintahuan yang mendalam mendorongnya untuk tidak hanya membaca kitab, tapi masuk ke dalam praktik kehidupan nyata. Ini bukan penelitian yang sekadar mengandalkan literatur di perpustakaan; ini penelitian yang menuntut pengorbanan, keberanian, dan pengalaman langsung.

Bagi seorang ilmuwan, inilah salah satu bentuk paling tinggi dari dedikasi: menjelma menjadi bagian dari objek studi, memahami dari dalam, dan mencatat dengan saksama. Sebuah pelajaran penting bagi siapa saja yang serius menekuni ilmu, apa pun bidangnya.


Ketika Ilmu Menjadi Alat Kekuasaan

Namun inilah sisi dilematis dari sosok Snouck Hurgronje: ilmunya tidak berhenti sebagai pengetahuan, tetapi dijadikan alat untuk mengatur dan menundukkan. Dalam perannya sebagai penasihat pemerintah kolonial Belanda, ia menggunakan pengetahuannya tentang Islam untuk memecah gerakan rakyat Aceh, dengan membedakan antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai kekuatan politik.

Dari sinilah muncul stigma “pengkhianat”, karena ilmunya justru membantu kolonialisme. Dan memang, sulit dipungkiri bahwa Snouck berdiri di sisi kekuasaan penjajah.

Namun refleksi penting di sini adalah: pengetahuan itu netral, tapi akan bermakna sesuai dengan siapa yang memegang dan untuk apa dipakainya. Dalam tangan yang bijak, ilmu membebaskan. Dalam tangan yang salah, ilmu bisa menindas.

Belajar dari Ambivalensi

Membaca buku ini membawa saya pada kesadaran bahwa sejarah tidak pernah sesederhana hitam dan putih. Snouck Hurgronje bukan hanya penjajah intelektual, dan juga bukan pahlawan ilmu pengetahuan semata. Ia adalah keduanya, sekaligus bukan keduanya.

Justru dari tokoh-tokoh seperti inilah kita bisa belajar secara mendalam tentang ambivalensi manusia—tentang bagaimana dedikasi luar biasa bisa bersanding dengan kepentingan kekuasaan. Dan dari situ pula kita bisa bertanya pada diri sendiri: ilmu apa yang sedang kita pelajari, dan untuk apa kita akan memakainya?

Penutup

Snouck Hurgronje meninggalkan warisan yang membingungkan: kekaguman dan kecaman. Tapi dari kehidupannya, satu hal yang bisa saya pegang adalah bahwa keseriusan dalam meneliti dan mencari tahu kebenaran adalah pondasi utama dari ilmu. Kita tinggal memilih apakah akan menggunakannya untuk membangun peradaban—atau untuk menundukkan yang lemah.

Posting Komentar