Review Buku Identitas Francis Fukuyama: Memahami Politik Kebencian di Era Modern

Pendahuluan: Mengapa Buku Identitas Francis Fukuyama Wajib Dibaca

Dalam dunia politik yang semakin terpolarisasi, buku Identitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian karya Francis Fukuyama menjadi bacaan esensial. Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Inggris pada 2018 dengan judul Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, buku ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Penerbit Bentang Pustaka, Yogyakarta, pada tahun 2020. Fukuyama, seorang filsuf politik terkenal yang pernah menulis The End of History and the Last Man, kembali menggugat dinamika masyarakat modern melalui lensa identitas.

Buku ini tidak hanya relevan secara global, tapi juga sangat pas untuk konteks Indonesia yang kaya akan keragaman agama, etnis, dan budaya. Jika Anda tertarik dengan politik identitas, thymos, atau bagaimana kebencian politik muncul, artikel ini akan memperkenalkan buku ini secara mendalam.

Sinopsis Buku Identitas: Dari Thymos hingga Politik Kebencian

Francis Fukuyama memulai pembahasannya dengan konsep filsafat kuno dari Plato, yaitu thymos, dorongan manusia untuk mendapatkan pengakuan atas martabatnya. Menurut Fukuyama, thymos adalah kebutuhan dasar manusia selain kebutuhan material, yang mendorong individu dan kelompok untuk menuntut pengakuan.

Dari thymos ini, muncul dua bentuk utama:
    •    Isothymia: Keinginan untuk diakui setara dengan orang lain, yang menjadi dasar demokrasi dan hak asasi manusia.
    •    Megalothymia: Ambisi untuk diakui lebih unggul, yang bisa memicu kompetisi sehat tapi juga konflik jika tidak dikelola.

Fukuyama menganalisis bagaimana tuntutan identitas ini memicu fenomena seperti populisme, nasionalisme, dan kebencian (resentment) di berbagai negara. Ia mencontohkan gerakan seperti Brexit, kemenangan Donald Trump, hingga konflik identitas di Timur Tengah. Buku ini menunjukkan bahwa kegagalan demokrasi liberal dalam memenuhi thymos dapat menyebabkan polarisasi sosial. Dalam edisi Indonesia, penerjemah Wisnu Prasetya Utama dan penyunting Eka Saputra serta Nurjannah Intan membuat buku ini mudah dipahami bagi pembaca lokal. Tebalnya sekitar 300 halaman, buku ini cocok untuk mahasiswa, aktivis, atau siapa saja yang ingin memahami akar masalah politik kontemporer.

Relevansi Buku Identitas Fukuyama dengan Politik Indonesia

Indonesia, sebagai negara dengan keragaman luar biasa, sering menghadapi isu politik identitas yang kompleks. Fukuyama’s analisis tentang thymos sangat relevan di sini, di mana tuntutan pengakuan dari kelompok agama, etnis, atau regional sering menjadi pemicu konflik politik.

Misalnya, dalam pemilu atau isu sosial, kita melihat bagaimana megalothymia memicu kompetisi antar-kelompok, sementara isothymia mendorong gerakan kesetaraan. Buku ini bisa menjadi pelajaran berharga untuk memoderasi politik kebencian di Indonesia, dengan memperkuat identitas nasional yang inklusif. Namun, tantangannya besar: bagaimana memenuhi kedua dorongan ini di tengah keragaman yang begitu kompleks tanpa menimbulkan beban berat bagi pemerintah dan masyarakat?

Fukuyama menyarankan solusi seperti memperkuat institusi demokrasi dan pendidikan untuk mengelola identitas, yang bisa diterapkan di Indonesia untuk mengurangi polarisasi.

Kesimpulan: Buku yang Menginspirasi untuk Masa Depan Politik

Identitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian adalah buku yang wajib dibaca bagi siapa saja yang peduli dengan politik identitas. Francis Fukuyama berhasil menyajikan gagasan filosofis yang dalam dengan bahasa yang accessible, membuatnya relevan untuk pembaca Indonesia.

Jika Anda ingin membeli buku ini, cek di toko buku online seperti Gramedia atau Shopee. Bacalah dan renungkan: bagaimana kita bisa menyeimbangkan thymos dalam masyarakat plural seperti Indonesia?
Tag: politik identitas Indonesia, buku filsafat politik, Francis Fukuyama Indonesia, review buku Identitas
.

Posting Komentar untuk "Review Buku Identitas Francis Fukuyama: Memahami Politik Kebencian di Era Modern"