Ulasan Buku ‘In Praise of Slow’: Menemukan Kembali Jeda di Dunia yang Tergila-gila Kecepatan
Ritual yang seharusnya menjadi waktu untuk menanamkan nilai dan membangun kehangatan, tanpa sadar berubah menjadi "tugas" yang harus segera dituntaskan karena agenda lain sudah menunggu. Momen inilah yang membuat saya tersentak saat membaca kata pengantar buku "In Praise of Slow" karya Carl Honoré.
Buku yang di Indonesia diterbitkan oleh Penerbit BFirst dengan subjudul "Sepuluh Mitos Keliru tentang Kecepatan" ini, seolah menjadi tuas rem darurat di tengah kultur global yang mengagungkan kecepatan.
Apa Itu "Gerakan Lambat" (Slow Movement)?
Carl Honoré membuka mata kita bahwa obsesi terhadap kecepatan, ingin cepat kaya, cepat pintar, cepat sampai—telah menjadi candu yang menggerogoti kualitas hidup. Namun, "In Praise of Slow" bukanlah sebuah manifesto untuk menjadi malas atau menolak kemajuan.
Inti dari filosofi "Slow" adalah melakukan segala sesuatu dengan kecepatan yang tepat. Terkadang kita perlu bergerak cepat, namun di waktu lain, kita perlu melambat untuk bisa merasakan, meresapi, dan terhubung. Ini adalah ajakan untuk menemukan kembali keseimbangan. Honoré membedakan dua filosofi hidup:
- Cepat (Fast): Sibuk, agresif, terburu-buru, analitis, stres, dan lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas.
- Lambat (Slow): Tenang, hati-hati, reseptif, intuitif, sabar, reflektif, dan fokus pada kualitas.
Dari Ruang Tidur Anak Hingga Kerusakan Hutan Indonesia
Apa yang membuat buku ini begitu personal bagi saya adalah bagaimana Honoré menghubungkan keresahan personal dengan isu global. Konflik batin saat membacakan dongeng dengan terburu-buru adalah mikrokosmos dari masalah yang lebih besar.
Di Indonesia, kita melihat manifestasi paling ekstrem dari "kultur cepat" ini. Atas nama "ingin cepat kaya" dan "kemakmuran instan", sumber daya alam dikeruk tanpa kendali. Hutan digunduli, ekosistem dirusak, dan akhirnya, "kecepatan" dalam mengejar profit itu berbalik menjadi bencana seperti banjir dan tanah longsor yang datang lebih cepat dari yang kita duga.
Buku ini menyadarkan kita bahwa biaya dari ketergesa-gesaan ini sangatlah mahal, baik itu berupa momen berharga yang hilang bersama keluarga, maupun kelestarian alam yang terancam.
Sebuah Undangan untuk Berhenti Sejenak
"In Praise of Slow" adalah lebih dari sekadar buku; ini adalah sebuah undangan untuk refleksi. Undangan untuk mempertanyakan kembali, "Apakah lebih cepat selalu berarti lebih baik?"
Bagi saya sebagai orang tua dan penulis, buku ini memberikan validasi bahwa meluangkan waktu, untuk benar-benar mendengarkan, untuk meresapi cerita, untuk berpikir secara mendalam, bukanlah kemewahan, melainkan sebuah kebutuhan.
Ini adalah bacaan wajib bagi siapa saja yang merasa lelah dengan tuntutan dunia modern dan ingin merebut kembali kendali atas aset mereka yang paling berharga: waktu dan perhatian.
Bagaimana menurut Anda? Apakah Anda juga merasakan tekanan untuk selalu bergerak lebih cepat? Bagikan pemikiran Anda di kolom komentar!

Posting Komentar untuk "Ulasan Buku ‘In Praise of Slow’: Menemukan Kembali Jeda di Dunia yang Tergila-gila Kecepatan"
Posting Komentar