Kristenisasi ala Kiai Sadrach
Buku yang saya perkenalkan ini cukup menarik karena isinya yang bercerita mengenai kristeninasi yang terjadi di Tanah Jawa yang dilakukan oleh seorang pribumi asli di masa penjajahan Belanda. Memang jangan dibayangkan bahwa aktifitas kristeninasi kala itu bisa dilakukan oleh sembarang orang dan bahkan tidak boleh sembarangan dilakukan. Catatan ini menjadi menarik karena walaupun Penjajah Belanda khususnya orang-orangnya beragama Kristen, bukan berarti kegiatan kristenisasi itu mudah dilakukan dan gampang pelaksanaannya. Karena Belanda datang ke Indonesia tidak memiliki paket membawa agama, misinya hanya menguasai dan faktor ekonomi semata.
Berbeda sekali dengan Portugis yang di samping misi ekonomi tapi juga misi keagamaan sudah menjadi satu di dalamnya. Catatan lainnya adalah, ketika kekristenan juga diterima oleh sebagian masyarakat pribumi, bukan berarti orang pribumi bisa seenaknya menyebarkan keyakinannya kepada setiap orang. Missionaris dari luarpun termasuk dari orang Belanda pun harus mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah Belanda sendiri. Kenapa? Jangan sampai kegiatan kristenisasi itu mengusik kegiatan ekonomi mereka. Contohnya, ketika missionaris dari Gereja Mennonite (DZV), Jansz dalam tulisan pastoralnya menggunakan elemen kultur Jawa di mana ketika tulisan dalam bentuk brosur itu jatuh ke tangan asisten residen Jepara dan kemudian meminta pendapat kepada bupati, tulisan itu dianggap beresiko dan berbahaya bagi ketertiban umum. Kemudian yang terjadi adalah pemerintah mencabut ijin penyebaran agama dan dilarang berdakwah kepada non-Kristen. Jadi pemerintah Belanda tidak terlalu perduli dengan misi agama, mereka lebih perduli dengan ketenangan masayarakat supaya tidak bergolak sehingga kegiatan ekonomi itu berjalan lancar. Kalaupun pada akhirnya pemerintah Belanda perduli dengan misi gereja, tapi itu lebih kepada kepedulian untuk melakukan pembinaan terhadap umat Kristen yang ada kala itu.
Akibatnya kalaupun ada missionaris-missionaris 'luar' yang ingin menyebarkan kekristenan di Nusantara, mereka kesulitan untuk membawa orang-orang pribumi untuk dikristenkan. Makanya ketika tokoh yang menjadi sorotan dari buku yang ada di tangan saya ini menjadi penginjil dan melakukan kristenisasi khususnya di Tanah Jawa, dengan pendekatan pola pikir orang Jawa dan cara hidup Jawa maka begitu banyak orang Jawa yang merasa tertarik untuk menjadi Kristen. Tapi justru di sinilah persoalan di mulai. Di mana keberhasilan tokoh kita ini akhirnya menimbulkan 'iri hati' terhadap keberhasilannya.
Tokoh yang menjadi sorotan dalam buku berjudul Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa adalah sesuai dengan nama judul bukunya. Kiai Sadrach. Seorang yang datang dari masyarakat miskin yang tertarik untuk mencari ilmu dengan cara berkelana di beberapa tempat di Jawa. Dalam pencarian ilmu dengan berguru di berbagai tempat dan berbagai guru, rupanya Kiai Sadrach berjumpa dengan kekristenan dan akhirnya memutuskan untuk menjadi Kristen. Yang menarik dari hasil karya C. Guillot ini menjelaskan dengan begitu rinci dan informatif mengenai kehidupan Jawa masa lampau ini sangat kaya dengan data-data yang sangat komfrehensif. Makanya buku ini menjadi penting bagaimana jalannya penyebaran kekristenan khususnya di Jawa. Dengan melihat latar belakang dan perjalanan Kiai Sadrach maka kita menjadi tahu juga pola yang dipakai oleh penginjil tersebut yang tentu berbeda polanya dengan yang dilakukan oleh para missionaris dari luar khususnya dari Eropa. Buku ini sebenarnya pernah diterbitkan oleh PT. Grafiti Pers tahun 1965 dan kini diterbitkan kembali oleh Matabangsa tahun 2020.
Sebagai orang yang lahir dan besar di Jawa dengan kehidupan ngelmu yang tinggi saat itu, Sadrach berkeliling ke banyak wilayah untuk berguru, dan akhirnya ketika tiba di Semarang ia bertemu dengan guru lamanya yang ternyata sudah menjadi Kristen, sehingga dia mengikuti jejak gurunya itu menjadi Kristen. Namun, Sadrach sendiri akhirnya terdorong untuk melakukan penginjilan ke banyak tempat di Jawa dan berhasil secara luar biasa mendirikan perkumpulan orang-orang yang mengikuti jejaknya dari kalangan pribumi.
Namun demikian oleh orang-orang Barat dalam hal ini para missionaris melihat keberhasilan Sadrach itu bukannya mendapat dukungan, tapi malah dianggap Sadrach menggunakan pengajaran kekristenan yang dicampur dengan nilai-nilai dan tradisi kejawaan yang bagi orang Barat atau Eropa Kristen tersebut bukan Kristen murni. Sebenarnya cara memandang seperti itu juga dialamatkan kepada Coolen yang ada di Ngoro, Jawa Timur, di mana kekristenan Coolen kekristenan yang memang beriringan dengan budaya Jawa. Daftar tuduhan yang dialamatkan kepada Kiai Sadrach itu seperti adanya slametan, kenduri, bangunan gereja berbentuk masjid dan seterusnya. Semua itu seperti tidak bisa diterima oleh gereja yang saat itu tentu kiblatnya kepada gereja yang ada di Eropa.
Memang cara kristenisasi itu misalnya dilakukan dengan cara berdialog kalau tidak mau dibilang berdebat dengan guru-guru dan para pemimpin sampai akhirnya kalah dalam perdebatan dan akhirnya mengikuti jejak Kiai Sadrach. Apalagi Sang Kiai memiliki kepintaran untuk soal ilmu supranatural yang ketika itu dianggap sebagai ilmu tinggi. Makanya sebutan kiai yang disandangnya memperkuat hal tersebut. Sehingga hal tersebut juga menjadi senjata bagi 'pesaing'nya kalau Kiai Sadrach itu mengajarkan Yesus sebagai ratu adil dan bahkan menyebut kalau Kiai Sadrach itu sendiri membawa dirinya sebagai ratu adil.
Lebih jelasnya, tampaknya buku ini harus dimiliki dan dibaca untuk mengetahui kehidupan dan karya-karya Kiai Sadrach yang dirangkum dalam buku yang memenangkan Prix Jeanne Cuisinier (1981) sebuah hadiah yang diberikan oleh Institut National des Laugues et Civilisation Orientales, Paris untuk buku-buku terbaik mengenai Indonesia.
Posting Komentar
0 Komentar