Apakah Kita Bertuhan atau Supaya Terlihat Bertuhan?

Daftar Isi

Apakah kita bertuhan, atau supaya terlihat bahwa kita bertuhan? Kalau memang kita bertuhan, maka kita seharusnya patuh kepada perintah dan larangan-Nya, tapi buktinya kita sering kali tidak pernah merasa takut akan Tuhan. Menganggap enteng keberadaan-Nya.

Bagi kita yang beragama setuju bahwa ajaran agama memberitahukan bahwa Tuhan ada dan kita harus hormat dan patuh kepada-Nya, namun faktanya banyak dari kita tidak mempercayai-Nya, atau setidaknya tidak terlalu peduli dengan adanya Tuhan itu sendiri. Buktinya, korupsi, mencuri uang rakyat, menipu dan ingkar janji dan sumpah yang kita anggap dibacakan di hadapan Tuhan yang simbolnya Kitab Suci-Nya, namun kenyataannya, kita tak pernah takut kepada Tuhan itu sendiri. Atau jangan-jangan sumpah dan janji yang sering kita jadikan sebagai seremonial itu tidak benar-benar kita percayai kekuatannya. Tapi kita sebenarnya tampil supaya terlihat bertuhan.

Banyak tulisan yang menggugat acara-acara kenegaraan, bahkan di ruang-ruang pengadilan dengan sumpah yang mengikutkan Tuhan di dalamnya. Terlepas dari aturan maupun protokol acara yang mengharuskan semua dilakukan. Tapi lebih dari itu, sebagai bangsa yang memiliki kebanggaan bertuhan, namun kenyataannya, sumpah jabatan, atau sumpah apapun tidak pernah meredakan banyaknya kejahatan yang dilakukan oleh orang yang disumpah di bawah Kitab Sucinya tersebut.

Akhirnya patut kita mempertanyakan, sebenarnya kita ini benar-benar bertuhan, atau supaya kita terlihat bangsa yang bertuhan? Kalau kita mempercayai bahwa Tuhan ada, dan bahkan kita meyakini kalau Dia tahu tentang kita, Dia memperhatikan apa pun yang kita lakukan, tapi bagi pelaku kejahatan, pelaku korupsi, pelaku penipuan, semua gambaran tentang Tuhan itu tidak menjadi fokus penting. Atau jangan-jangan, kita memang hanya ingin menunjukkan bahwa kita ini orang yang punya agama, orang punya Tuhan. Dengan harapan, orang lain akan berkesimpulan, mana mungkin orang beragama dan bertuhan akan melakukan kejahatan?

Bahayanya, justru datang dari sudut pandang kita orang awam di mana kita sudah ditunjukkan adanya upacara sumpah jabatan, menghadirkan tokoh agama yang dianggap wakil Tuhan, menyertakan Kitab Suci yang berisi tentang Tuhan, namun nyatanya mereka melakukan kejahatan, penyangkalan adanya Tuhan. lalu sebenarnya Tuhan itu ada atau tidak ya? Mengapa Dia tidak bertindak ketika orang yang bersumpah tersebut melakukan korupsi dan sebagainya? Dia benar-benar ada atau tidak ya? Tentu tulisan tidak akan melebar kepada soal teodisi yaitu pandangan filosofis yang ingin mencoba untuk menjelaskan mengapa Tuhan yang baik itu mengizinkan kejahatan berlangsung? Di mana keadilan Tuhan itu?

Atau memang, kita enggan untuk membahas mengenai adanya Tuhan yang tidak kelihatan itu, sehingga jangan tersinggung bila paham ateis yang menganggap bahwa soal Tuhan itu berada di luar batas-batas rasional. Atau bisa jadi mereka mentertawai kita yang begitu getol dengan beragama, sangat keras dengan upacara-upacara yang mencoba menghadirkan Tuhan di ruang publik, tapi kita ternyata tidak terlalu peduli dengan Tuhan itu sendiri. Sehingga seorang Rabi Yahudi melontarkan komentar, seringkali para ateis lebih baik tingkah lakunya ketimbang mereka yang mempercayai adanya Tuhan.

Atau kita memang tidak pernah bernalar tentang adanya Tuhan itu sendiri, karena beragama dan bertuhan hanya menjadi titipan pendahulu kita. Sebuah buku menarik dari guru besar Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta Franz Magnis-Suseno mungkin berguna untuk kita baca.

Judul          : Menalar Tuhan

Penulis       : Franz Magnis-Suseno 

Penerbit     : PT Kanisius

Tahun        : Yogyarakta, Tahun 2006

Tebal         : 245 halaman

Mempertanyakan Tuhan sebenarnya sudah menjadi pertanyaan banyak orang sebelum kita sekarang. Hal tersebut tergambar dari berbagai tulisan khususnya di ranah filsafat di mana manusia ingin menggapai Tuhan. Awalnya manusia memandang Tuhan sebagai pendengar yang akan mengatakan ia atas segala apa yang difirmankan. Namun dalam perkembangannya, akhirnya manusia bukan hanya ingin taat tapi juga inghin tahu apa yang ingin ditaati tersebut.

Wilayah filsafat membuka peluang lebar-lebar untuk terus mengembangkan pemikiran kritis agar nalar dapat mengikuti apa yang diimani. Dan di abad 21 ini manusia masih mengandalkan Tuhan untuk diimani dan dipercayai tapi dengan tambahan pertanyaan lanjutan, apakah imannya lebih dari sekedar warisan indah dengan tradisi yang berumur ratusan tahun turun-temurun menjadi pegangan hidup, tapi apakah iman kepercayaannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

Menariknya, bagaimana dengan kehidupan dalam konteks kita dalam bertuhan? Tak dapat disangkal justru negeri ini bukan kekurangan dalam memikirkan tentang ketuhanan tersebut, dan bahkan kelebihan. Lihatlah dalam masyarakat kita dan isi berita yang kita baca dan kita dengar setiap hari, selalu saja manusia Indonesia mengaitkan setiap sisi kehidupannya dengan agama dan berketuhanannya. Justru, yang menjadi masalah bukan soal berketuhanan, melainkan bagaimana ketuhanan dapat dihayati dengan cara yang tidak bertentangan dengan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Pesan utama dari buku ini adalah bagaimana kita yang beragama dan berketuhanan tersebut berpikir kritis dalam memahami konsep Tuhan. Tentu saja konsep ketuhanan bisa dipahami dari berbagai prespektif termasuk ketika ketika menalar tentang Tuhan, apakah kita memang benar-bernar punya keyakinan adanya Tuhan yang disembah dan diagungkan, tapi kita juga yang menganggap "tidak ada" ketika kita melakukan kejahatan yang tidak lagi memperdulikan kehadiranNya dalam hidup kita.

Makanya, kalau apa yang disampaikan oleh Romo Magniz tentang Tuhan itu dimiliki oleh kita, pertanyaan kita, apakah kita hanya sekedar menjalankan apa yang telah diturunkan oleh nenek moyang kita sebagai sebuah keyakinan, tapi kita mungkin tidak sempat menalar seperti apakah Tuhan itu. Atau kita memang hanya ingin terlihat bahwa kita berketuhanan.  

Posting Komentar