Positive Thinking Bukan Solusi Instan Masalah Mental

Daftar Isi

Positive thinking bukan solusi instan untuk masalah mental apalagi dijadikan cara satu-satunya untuk mereka yang menghadapi masalah berat karena justru konsep itu membuat orang merasa gagal ketika emosi negatif muncul. Bahkan positive thinking akan berbahaya bila dipaksakan.

Makanya buku-buku populer yang selama ini beradar dan sering menjadi acuan dalam menghadapi problem kehidupan seperti The Secret (Rhonda Byrne) atau The Power of Positive Thinking (Norman Vincent Peale) di mana prinsip-prinsip tersebut dianggap sebagai bentuk menyederhanakan masalah yang kompleks: Masalah mental sering butuh perubahan perilaku, dukungan sosial, atau intervensi medis—bukan sekadar "pikiran baik". Atau juga cara tersebut sebagai Victim Blaming: Menyiratkan bahwa penderita depresi/gangguan anxiety "hanya perlu berpikir lebih positif."

Ketika seseorang menghadapi masalah baru di PHK dari pekerjaan, atau putus cinta dan bahkan depresi, maka tidak realistis bila kita menyuruhnya untuk bersikap positif. Atau juga ketika seseorang terlibat konflik di kantor dan karena ia ingin bersikap positive thinking, lalu ia pura-pura, "semua baik-baik saja", maka tentu saja situasi tersebut tidak akan menemukan solusi yang tepat dari persoalan yang sedang dihadapinya. Dalam hal tersebut ia berusaha untuk menekan emosi negatifnya, seperti sedih, marah yang sewaktu-waktu malah bisa meledak dan hingga kecemasan yang berkepanjangan. 

Itulah gagasan yang disampaikan oleh Arnold A. Lazarus (seorang pelopor terapi perilaku dan terapi multimodal) dan Clifford N. Lazarus (putranya, yang juga seorang psikolog klinis) yang diungkap dalam buku Staying Sane in a Crazy World: Panduan Sains untuk Mental Tangguh di Tengah Kekacauan. Dua ahli bapak dan anak ini memberikan solusi menarik dan menjadi pilihan solusi selain positive thinking yang selama ini didengung-dengung oleh banyak ahli lainnya.

Kalau begitu apa solusinya kalau positive thinking bukan jalan terbaik? Buku berikut akan menjawabnya.

Judul         : Staying Sane in a Crazy World: 101 Strategi untuk Tetap Waras di Dunia yang Gila

Penulis      : Arnold A. Lazarus & Clifford N. Lazarus

Tebal         : xiv + 314 halaman

Tahun        : Jakarta, 2005

Penerbit    : PT Bhuana Ilmu Populer

Positive Thinking vs. Rational Thinking

Penulis merekomendasikan pendekatan berbasis terapi kognitif-perilaku (CBT) dan multimodal:

  • Teknik Thought Stopping: Menginterupsi pikiran negatif dengan aktivitas fisik (contoh: berjalan, menepuk meja) alih-alih memaksakan pikiran positif.

  • Cognitive Restructuring: Mengganti keyakinan irasional ("Aku harus sempurna") dengan pertanyaan rasional ("Apa buktinya bahwa kesalahan ini fatal?").

  • Penerimaan Emosi: Mengakui bahwa sedih, marah, atau cemas adalah respons normal terhadap situasi sulit.

Sebenarnya Lazarus tidak anti-pikiran positif, tapi menentang pemaksaan positivity tanpa solusi nyata. Karena menurut dua ahli ini keseimbangan emosi + tindakan rasional lebih efektif untuk kesehatan mental jangka panjang.

Dalam hal ini Lazarus menolak gagasan bahwa memaksakan pikiran positif (misalnya: "Aku harus selalu bahagia!") bisa menyelesaikan masalah. Alasannya

  • Tidak Scientifik: Menekan emosi negatif justru memperburuk stres (efek rebound psikologis).

  • Tidak Berkelanjutan: Memaksakan afirmasi positif tanpa mengubah perilaku atau lingkungan hanya bersifat sementara.

  • Contoh "Menyuruh seseorang yang depresi untuk 'bersyukur' atau 'lihat sisi baiknya' bisa membuat mereka merasa gagal karena tidak mampu merasakan hal itu."

Lalu solusinya apa dong? Solusi yang ditawarkan adalah Rational Thinking—menerima emosi negatif sebagai wajar, lalu mengevaluasi apakah pemikiran tersebut realistis.

Lazarus menawarkan pendekatan lebih sehat begini yang dianggap sebagai solusi:

  • Terima Emosi Negatif:
    "Boleh merasa marah/cemas, asalkan tidak terlarut dalamnya."

  • Evaluasi Pikiran secara Rasional:
    Ganti "Aku harus selalu sukses!" dengan "Apa buktinya bahwa satu kegagalan berarti aku tidak mampu?"

  • Fokus pada Tindakan:
    Daripada memaksa diri "positif", lebih baik bertindak konkret (misalnya: cari bantuan profesional, atur ulang prioritas).

Posting Komentar