Apakah Agama Sumber Kekerasan? Membaca “Empat Penunggang Kuda” dengan Nalar Kritis

Daftar Isi


Apakah agama adalah sumber kekerasan?

Pertanyaan ini menyeruak tajam dalam buku Empat Penunggang Kuda: Percakapan yang Memicu Revolusi Ateis, sebuah diskusi intelektual antara Richard Dawkins, Christopher Hitchens, Sam Harris, dan Daniel Dennett, empat tokoh penting dalam gerakan “New Atheism”.

Buku ini tidak menyajikan risalah akademik, melainkan percakapan bebas namun intens yang memuat kritik keras terhadap agama—dari keberadaan Tuhan hingga efek sosial keyakinan religius. Dalam gaya yang lugas, bahkan frontal, keempat tokoh ini menyebut agama sebagai virus pikiran, akar konflik, penghambat moralitas, dan sumber irasionalitas massal.

Sebagai pembaca yang memegang keyakinan religius atau spiritual, kita tentu tidak bisa, dan tidak perlu, menelan mentah-mentah isi buku ini. Namun di saat yang sama, justru dengan membaca secara reflektif dan kritis, kita bisa memetik nilai penting dari percakapan tersebut.

Antara Kritik dan Kecermatan Membaca Sejarah

Sejarah memang mencatat berbagai kekerasan atas nama agama: Perang Salib, inkuisisi, terorisme modern, konflik sektarian, dan sebagainya. Namun menyederhanakan bahwa agama sendiri adalah sumber kekerasan adalah pandangan yang terlalu tergesa.

Sering kali, agama hanyalah wadah simbolik dari konflik yang sebenarnya bermula dari politik, ekonomi, atau identitas kelompok. Agama memberi legitimasi moral, tapi bukan selalu penyebab utama.

Maka, membaca kritik para "penunggang kuda" ini harus disertai kecermatan: membedakan antara ajaran asli dan tafsir yang dibentuk oleh manusia dan kepentingan.

Tafsir sebagai Medan Kuasa

Semua agama memiliki potensi untuk damai atau destruktif—karena tafsir atas teks suci tidak pernah netral. Sejarah menunjukkan bagaimana tafsir bisa digunakan untuk memperkuat kekuasaan, menindas perempuan, atau membenarkan perang. Tapi sejarah juga menunjukkan bagaimana tafsir yang sama bisa melahirkan gerakan sosial, pembebasan, dan cinta kasih.

Masalahnya bukan semata-mata pada keberadaan agama, tapi siapa yang menafsirkan, dalam konteks apa, dan untuk tujuan apa.



Perlu “Gangguan” untuk Kesadaran Baru

Membaca Empat Penunggang Kuda secara reflektif justru bisa menjadi semacam “gangguan” yang produktif. Kritik tajam mereka bisa membantu kita membersihkan debu dogma dari keimanan, dan memaksa kita untuk tidak mempercayai sesuatu hanya karena diwariskan atau diajarkan.

Iman yang matang bukanlah iman yang kebal terhadap pertanyaan—melainkan yang tahan uji, sadar akan sejarahnya, dan terbuka terhadap kritik.


Memang benar: tidak ada agama yang sepenuhnya steril dari sejarah kekerasan, tetapi juga tidak adil menyimpulkan bahwa kekerasan itu lahir semata-mata dari inti ajaran agama tersebut.

Tapi coba kita melihat dengan hati adem dulu.

1. Agama sebagai “wadah”, bukan selalu “sumber”

Banyak konflik yang tampaknya berbasis agama, sebenarnya lebih merupakan konflik politik, ekonomi, atau identitas, yang menggunakan agama sebagai simbol atau legitimasi. Misalnya, Perang Salib sering dipahami sebagai perang agama, tapi di dalamnya juga menyimpan ambisi kekuasaan, ekonomi, dan teritori.

2. Tafsir manusia adalah medan pertarungan nilai

Ajaran agama selalu ditafsirkan manusia, dan tafsir itu bisa sangat berbeda tergantung konteks sosial, budaya, bahkan psikologis. Tafsir bisa membebaskan, tapi juga bisa menindas—tergantung siapa yang menafsirkan, untuk kepentingan apa, dan dalam kondisi apa.

3. Agama juga menjadi sumber moral, harapan, dan perlawanan terhadap ketidakadilan

Jika kita hanya melihat agama dari sisi kekerasan yang dilakukan atas namanya, kita menutup mata terhadap kenyataan bahwa agama juga telah menginspirasi gerakan perdamaian, keadilan, dan pembebasan. Misalnya:

Gandhi dan Ahimsa (non-kekerasan) dalam tradisi Hindu-Jain.

Martin Luther King Jr. dengan teologi kasih dalam Kristen.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan Islam yang toleran dan pluralistik.

4. Kritik dari para ateis penting sebagai pengingat

Kritik dalam Empat Penunggang Kuda berguna untuk menantang agama agar tidak berpuas diri—untuk terus merefleksikan perannya, menyaring yang otentik dari yang manipulatif. Tapi kritik itu juga harus dibaca dengan kesadaran bahwa agama bukanlah satu blok monolitik.

Kesimpulan: Agama, Manusia, dan Kemungkinan Kebaikan

Agama, seperti pisau, bisa digunakan untuk menyembuhkan atau melukai. Bukan pada pisaunya letak moralitas, tapi pada tangan yang menggenggam dan niat yang menggerakkannya.

Buku ini mengajak kita untuk tidak lengah terhadap bahaya tafsir yang menyesatkan. Tapi juga, sebagai pembaca kritis, kita diajak untuk tidak mengabaikan sisi kemanusiaan, harapan, dan moralitas yang selama ribuan tahun juga telah hidup melalui agama.

Maka, tidak perlu menolak mentah-mentah buku ini, tapi juga tidak perlu menelannya mentah-mentah. Sebab tugas kita bukan sekadar percaya, tapi membaca dan berpikir dengan sadar.

Posting Komentar