Bagaimana Demokrasi Mati: Pelajaran Kritis dari Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt untuk Menjaga Demokrasi Indonesia

Dalam era politik yang semakin polarisasi, pertanyaan tentang kelangsungan demokrasi Indonesia semakin mendesak. Buku ikonik Bagaimana Demokrasi Mati: Apa yang Diungkapkan Sejarah tentang Masa Depan Kita karya dua profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, bukan hanya analisis tajam tentang politik Amerika, tapi juga peringatan universal yang sangat relevan untuk kita di Indonesia. 

Diterbitkan dalam edisi Indonesia oleh PT Gramedia Pustaka Utama, buku ini menjelaskan bagaimana demokrasi mati pelan-pelan, bukan melalui kudeta berdarah, tapi melalui erosi norma dan institusi yang hampir tak terasa. Di tengah dinamika politik Indonesia pasca-Reformasi 1998, buku ini seperti alarm darurat: apakah kita siap menghadapi ancaman otoritarianisme terselubung?

Mengapa Demokrasi Bisa Mati Tanpa Kita Sadari?

Levitsky dan Ziblatt, yang dikenal sebagai pakar ilmu politik komparatif, membongkar mitos bahwa demokrasi hanya runtuh karena kekerasan dramatis. Sebaliknya, mereka mengungkap tiga mekanisme utama kematian demokrasi yang sering kali berlangsung secara bertahap:
    1    Munculnya Figur Otoriter yang Naik Secara Sah: Pemimpin populis memenangkan pemilu dengan janji manis, tapi segera menyerang fondasi demokrasi. Contoh historis seperti Adolf Hitler di Jerman Weimar atau Hugo Chávez di Venezuela menunjukkan bagaimana pintu masuk legal bisa berujung pada penindasan.
    2    Penyalahgunaan Kekuasaan dan Institusi: Setelah berkuasa, pemimpin ini melemahkan checks and balances—seperti mengendalikan media, yudikatif, atau lembaga anti-korupsi. Ini bukan kudeta, tapi “kudeta konstitusional” yang legal di permukaan.
    3    Hilangnya Oposisi yang Efektif: Yang paling licik, hilangnya oposisi sering tak terasa. Oposisi bisa “hilang” melalui intimidasi halus, polarisasi, atau norma saling toleransi yang rusak. Tanpa oposisi yang vokal, demokrasi kehilangan suara kritisnya, dan kekuasaan menjadi monopoli.

Buku ini kaya dengan studi kasus dari Eropa hingga Amerika Latin, membuatnya bukan sekadar teori, tapi narasi sejarah yang hidup. Yang membuatnya timeless adalah pesan intinya: demokrasi bergantung pada norma informal, seperti “mutual toleration” (saling menghormati antarpartai) dan “forbearance” (menahan diri dari penyalahgunaan aturan) lebih dari sekadar konstitusi.

Relevansi Buku Ini untuk Politik Indonesia di 2025

Meski lahir dari konteks pemilu AS 2016, Bagaimana Demokrasi Mati seperti cermin bagi demokrasi Indonesia. Kita telah menikmati 27 tahun Reformasi, tapi tantangan otoritarianisme pelan-pelan masih mengintai. Bayangkan:
    •    Hilangnya Oposisi yang Tak Terasa: Di Indonesia, oposisi sering kali “tidak dikenal” atau terpecah, seperti yang dibahas dalam buku ini. Ingat era Orde Baru di mana kritik disamarkan sebagai pengkhianatan? Hari ini, polarisasi pasca-pemilu 2024—dengan isu seperti pelemahan KPK atau kontroversi dynasti politik—mengingatkan pada pola yang digambarkan Levitsky dan Ziblatt. Oposisi yang lemah bukan hanya soal represi terang-terangan, tapi juga melalui media sosial yang membagi-bagi dan norma politik yang zero-sum.
    •    Ancaman Terselubung di Era Digital: Di 2025, dengan maraknya deepfake dan disinformasi, buku ini relevan untuk memahami bagaimana pemimpin bisa “menyuntik mati” demokrasi melalui manipulasi opini publik, mirip dengan bagaimana Trump merekrut partai Republik.
    •    Harapan untuk Reformasi: Penulis tak berhenti di diagnosis; mereka tawarkan solusi. Perkuat “gerbang penjaga” partai untuk menyaring ekstremis, bangun koalisi lintas spektrum, dan revitalisasi pendidikan sipil. Untuk Indonesia, ini berarti mendukung lembaga seperti Mahkamah Konstitusi yang independen dan mendorong dialog antar-elit politik.

Buku ini menjadi bestseller global karena keberaniannya: ia tak alarmis semata, tapi empowering. Di tengah gelombang populisme Asia Tenggara, dari Thailand hingga Filipina, demokrasi Indonesia butuh pelajaran ini untuk tetap bernapas.

Kesimpulan: Baca Buku Ini Sebagai Investasi untuk Masa Depan

Bagaimana Demokrasi Mati bukan sekadar bacaan politik; ia adalah panduan bertahan hidup bagi siapa pun yang peduli dengan reformasi demokrasi. Jika Anda seorang aktivis, jurnalis, atau warga biasa yang khawatir dengan erosi norma di negeri kita, ambillah buku ini dari rak Gramedia. Harganya terjangkau, dan dampaknya? Tak ternilai. Seperti kata Levitsky dan Ziblatt, “Demokrasi mati bukan karena musuh-musuhnya, tapi karena ketidakpedulian teman-temannya.”

Sudahkah Anda membaca buku ini? Bagikan pendapat Anda di komentar, bagaimana menurut Anda, apakah hilangnya oposisi di Indonesia sudah terlalu jauh? Mari diskusikan untuk memperkuat demokrasi Indonesia bersama.

Posting Komentar untuk "Bagaimana Demokrasi Mati: Pelajaran Kritis dari Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt untuk Menjaga Demokrasi Indonesia"