Ketika Tuhan Tak Menjawab: Review Buku "When Bad Things Happen to Good People"

"Mengapa saya?"

Pertanyaan ini mungkin pernah terlintas, atau bahkan diteriakkan, oleh setiap manusia yang berhadapan dengan tragedi. Mengapa penyakit ganas merenggut orang yang kita cintai? Mengapa kecelakaan menimpa orang yang saleh? Mengapa, dari miliaran manusia di bumi, penderitaan harus memilih orang-orang baik? Inilah pertanyaan abadi yang seringkali mengguncang fondasi keyakinan kita.

Dalam dunia literatur, sedikit buku yang berani menjawab pertanyaan ini dengan begitu jujur, radikal, dan penuh empati seperti "When Bad Things Happen to Good People" karya Harold S. Kushner. Diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia oleh PT Bhuana Ilmu Populer, buku ini bukan sekadar renungan teologis, melainkan sebuah memoar pilu dari seorang ayah yang kehilangan anaknya.

Lahir dari Luka yang Dalam

Harold S. Kushner adalah seorang rabi Yahudi yang hidupnya tampak sempurna, hingga putranya, Aaron, didiagnosis menderita progeria, sebuah penyakit penuaan dini yang langka. Kushner menyaksikan putranya yang baik dan tidak berdosa menjalani hidup yang singkat dan sulit, hingga akhirnya meninggal dunia pada usia 14 tahun.

Pengalaman ini menghancurkan Kushner. Semua penjelasan teologis yang biasa ia sampaikan kepada jemaatnya terasa hampa. Bagaimana mungkin Tuhan yang Maha Pengasih membiarkan ini terjadi? Apakah ini hukuman? Ujian? Rencana ilahi yang tak terpahami? Buku ini lahir dari pergulatan batin Kushner untuk menemukan jawaban yang bisa diterima oleh hatinya yang terluka, bukan sekadar oleh akal sehatnya.

Menantang Jawaban Klise tentang Penderitaan

Kushner membuka bukunya dengan menantang tiga jawaban klise yang sering kita dengar saat tragedi menimpa:

  1. "Ini adalah ujian dari Tuhan." Kushner menolak gagasan bahwa Tuhan sengaja menyebabkan penderitaan untuk menguji iman kita. Baginya, Tuhan yang seperti itu terdengar kejam dan tidak bisa dicintai.
  2. "Ini adalah bagian dari rencana Tuhan yang lebih besar." Meskipun terdengar menenangkan, Kushner berpendapat bahwa tidak ada "rencana" yang bisa membenarkan penderitaan seorang anak. Penjelasan ini seringkali hanya membuat orang yang berduka merasa perasaannya tidak valid.
  3. "Ini adalah hukuman atas dosa." Ini adalah penjelasan yang paling ditentang Kushner. Ia melihat betapa destruktifnya gagasan ini, yang membuat orang yang sudah menderita semakin terbebani dengan rasa bersalah yang tidak perlu.

Dengan menyingkirkan jawaban-jawaban ini, Kushner membuka ruang untuk sebuah perspektif yang berbeda, sebuah teologi yang lahir dari empati.

Argumen Utama Kushner: Tuhan yang Baik, Namun Tidak Mahakuasa

Di sinilah letak argumen paling radikal dari buku ini. Setelah bertahun-tahun merenung, Kushner sampai pada kesimpulan yang mengejutkan: Jika Tuhan itu adil dan baik, maka Dia tidak mungkin Mahakuasa. Sebaliknya, jika Tuhan itu Mahakuasa dan mengendalikan segalanya, maka Dia tidak mungkin sepenuhnya baik.

Kushner memilih yang pertama. Ia percaya pada Tuhan yang baik, pengasih, dan selalu berada di pihak kita. Namun, Tuhan ini tidak mengendalikan setiap detail alam semesta. Ada hukum alam (penyakit, bencana) dan ada kehendak bebas manusia (kejahatan, kelalaian) yang berada di luar kendali langsung Tuhan. Ketika hal buruk terjadi, itu bukan karena Tuhan menginginkannya, melainkan karena Tuhan pun tidak bisa mencegahnya.

Dalam pandangan Kushner, Tuhan tidak mengirimkan penyakit kepada anaknya. Sebaliknya, Tuhan hadir di sisinya, memberinya kekuatan untuk menanggung rasa sakit dan kesedihan. Tuhan adalah sumber kekuatan kita untuk bertahan, bukan dalang di balik penderitaan kita.

Mengubah Pertanyaan dari "Mengapa?" menjadi "Lalu, Bagaimana?"

Bagi Kushner, pertanyaan "Mengapa hal buruk menimpa orang baik?" pada akhirnya adalah pertanyaan yang salah. Itu adalah pertanyaan yang tidak akan pernah memiliki jawaban yang memuaskan.

Buku ini mengajak kita untuk mengubah pertanyaan itu menjadi: "Sekarang setelah hal buruk ini terjadi, bagaimana saya akan merespons?"

Inilah inti dari pesan Kushner. Kekuatan kita sebagai manusia tidak terletak pada kemampuan untuk memahami atau mencegah tragedi, melainkan pada bagaimana kita memilih untuk hidup setelahnya. Apakah kita akan menjadi pahit dan marah? Ataukah kita akan memilih untuk tetap mencintai, memaafkan, dan menemukan makna di tengah puing-puing kehidupan?

Untuk Siapa Buku Ini?

"When Bad Things Happen to Good People" adalah bacaan wajib bagi siapa saja yang pernah bergulat dengan iman, kehilangan, dan penderitaan. Ini bukan buku yang menawarkan jawaban mudah atau pelipur lara instan. Sebaliknya, ini adalah buku yang memberikan izin kepada kita untuk marah, untuk bertanya, dan untuk berduka, tanpa merasa bersalah.

Kushner menulis dengan kejujuran seorang ayah yang hancur hatinya dan kearifan seorang rabi yang telah mendedikasikan hidupnya untuk memahami hubungan antara manusia dan Tuhan. Buku ini mungkin tidak akan mengembalikan apa yang telah hilang, tetapi ia menawarkan sesuatu yang tak kalah berharga: sebuah lentera di tengah kegelapan, dan sebuah pengingat bahwa bahkan ketika kita merasa paling sendirian dalam penderitaan kita, kita tidak benar-benar sendirian.


Posting Komentar untuk "Ketika Tuhan Tak Menjawab: Review Buku "When Bad Things Happen to Good People""