Bioregion Papua: Hutan dan Manusianya – Ketika ‘Sapi Perah’ Terakhir Nusantara Berbicara

Sebuah Ulasan untuk Kesadaran di Hari Penanaman Pohon

Di tengah hiruk pikuk permasalahan yang terpusat di Jawa, kita sering lupa bahwa benteng terakhir hutan hujan tropis Indonesia berdiri kokoh, namun rapuh, di Tanah Papua. Peringatan Hari Penanaman Pohon 29 November adalah saat yang tepat untuk kembali membuka mata pada isu ini.

Buku "Bioregion Papua: Hutan dan Manusianya" yang diterbitkan oleh Forest Watch Indonesia (FWI) pada tahun 2019 hadir bukan hanya sebagai data, melainkan sebagai gugatan terhadap ketidakadilan yang membayangi hutan dan masyarakat adat Papua. Ini adalah studi baseline yang wajib dibaca oleh setiap warga negara yang peduli.

Potret Hutan Terakhir: Mengapa Papua Begitu Penting?

Papua, yang mencakup Papua dan Papua Barat, secara geografis dikenal sebagai Bioregion Papua. Studi FWI menunjukkan mengapa kawasan ini sangat vital:
Benteng Keanekaragaman Hayati: Kawasan ini adalah hutan hujan tropis terakhir di wilayah timur Nusantara dengan tingkat biodiversitas yang sangat tinggi dan unik.
81% Hutan Alam Tersisa: Data FWI menunjukkan bahwa hingga 2018, sekitar 33 juta hektar atau 81% daratan di Bioregion ini masih tertutup hutan alam. Ini menjadikannya penyimpan karbon alami raksasa bagi dunia. Namun, kekayaan ini justru menjadi petaka.

Ironi ‘Sapi Perah’: Eksploitasi vs. Kelestarian

Buku ini secara tajam menyoroti fenomena yang disebut sebagai ‘Sapi Perah’. Ketika hutan di Sumatra dan Kalimantan telah habis terdegradasi, mata industri ekstraktif kini beralih ke Papua.

Ancaman Ekspansi Masif

Pola Pindah: Ekspansi kapital besar dari sektor industri berbasis lahan seperti perkebunan sawit, pertambangan, dan kehutanan kini bergerak masif dan sistematis ke Bioregion Papua.
Kerusakan Sistematis: FWI mengungkap bagaimana proses konversi lahan ini terjadi secara sistematis, menghilangkan bukan hanya tutupan hutan, tetapi juga sistem ekonomi dan sosial masyarakat adat yang bergantung pada hutan tersebut.
Inilah ironi terbesarnya: kekayaan Papua digali untuk kepentingan ekonomi segelintir pihak, sementara masyarakat aslinya sering kali terpinggirkan dan menderita.

Hutan dan Manusianya: Krisis Sosial-Ekologis yang Akut

Inti dari studi ini adalah hubungan erat antara hutan dan manusia. Bagi masyarakat adat Papua, hutan bukanlah sekadar properti, melainkan sistem kehidupan itu sendiri.
Sistem Produksi dan Sosial: Hutan adalah lumbung pangan, sumber obat-obatan, dan pusat spiritual. Ketika hutan dihancurkan, yang hancur bukan hanya ekosistem, tetapi juga identitas, mata pencaharian, dan struktur sosial masyarakat adat.
Kriminalisasi dan Marjinalisasi: Buku ini menyajikan data bahwa laju deforestasi yang cepat sering kali diikuti dengan krisis sosial multidimensi: kriminalisasi, marjinalisasi, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap masyarakat yang berjuang mempertahankan tanah ulayat mereka.

Mengapa Anda Harus Membaca Buku Ini?

Buku Bioregion Papua: Hutan dan Manusianya adalah referensi berharga yang disusun berdasarkan data ilmiah yang kuat. Ini adalah panggilan keras bagi pemerintah, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas untuk tidak lagi mengabaikan Papua. Studi ini menyajikan keadilan informasi yang sangat dibutuhkan agar pengelolaan sumber daya alam di Papua diarahkan pada keberlanjutan dan menjunjung tinggi hak-hak masyarakat adat.

Jika Anda tertarik pada isu lingkungan, keadilan sosial, dan masa depan Nusantara, buku terbitan FWI tahun 2019 ini adalah jendela yang membuka mata tentang apa yang benar-benar terjadi di jantung pulau terbesar Indonesia.

Mari sebarkan kesadaran ini. Tanah Papua adalah bagian dari kita, dan hutan serta manusianya layak mendapatkan perhatian dan perlindungan yang adil.

Posting Komentar untuk "Bioregion Papua: Hutan dan Manusianya – Ketika ‘Sapi Perah’ Terakhir Nusantara Berbicara"