Disiplin dan Keteguhan dalam Kepemimpinan
loading...
Buku
yang akan saya jelaskan ini bukan masalah kekuasaan yang dipakai oleh seorang
penguasa daerah, walaupun kalau dihubung-hubungkan bisa saja, tapi sebenarnya
buku ini berisi mengenai strategi dan kekuasaan yang diajarkan dan dipraktekkan
oleh tokoh-tokoh terkenal yaitu Nicolo Machiavelli dan Sun Tsu dan didalamnya
juga berbicara mengenai Sang Pelayan oleh Alistar McAlpine penulis buku
ini.
Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Erlangga pada tahun 2004 ini
judul aslinya: The Ruthless Leader: Three Classics of Strategy and Power.
Buku ini akan bisa ditangkap inti dan maksudnya penulis ketika kita
membaca kutipan pendahuluan mengenai sebuah pristiwa yang sangat dramatis. Tiga
hal ini yaitu, Seni Perang karya Sun Tzu, Sang Penguasa karya
Nicolo Machiavelli dan Sang Pelayan karya penulis buku ini. Ketika unsur
karya yang sangat brilian inilah yang menjadi kombinasi yang tepat untuk
melihat mengenai sifat kemanusiaan. Tiga karya tersebut mengandung nasihat
untuk Sang Penguasa, bimbingan kepada Sang Pelayan, dan saran bahwa sang
pelayan menyerahkan kepentingan pada Sang Penguasa untuk mencapai tujuan
pribadi si pelayan dan petunjuk mengenai cara-cara mempertahankan idiologi yang
dipegang dari gerus erosi yang ditimbulkan karena tekanan politik sehari-hari
dalam pemerintahan.
Diceritakan,
Untuk memperlihatkan kekuatan dan tekad militernya, Sun Tzu, seorang jendral Cina yang hidup sekitar 2,500 tahun yang lalu dan orang yag menulis The Art of War, melatih 180 orang wanita dari istana Pangeran He Lu. Latihan terlihat kacau seperti bencana, para wanita itu bergunjing kiri kanan dan menjadi sangat gemetaran, kikuk, salah tingkah, dan selalu salah dalam memahami perintah dari Sun Tzu. Sang jendral besar itu, menegaskan bahwa adalah tanggung jawab mereka yang berwenang untuk menyampaikan perintah-perintah dengan cara sedemikian rupa sehingga perintah-perintah tersebut dapat dimengerti, lalu ia menjelaskan kepada wanita itu mengenai apa yang ia inginkan untuk mereka lakukan dalam perintah yang jelas dan tidak mungkin disalahartikan.
Sang jendral kemudian juga memanggil para algojo untuk bersiap-siap
menunjukkan bahwa ia menghargai disiplin sebagai esensi kehidupan militer.
genderang ditabuh, perintah-perintah diteriakkan dan para wanita itu , kali ini
masih saja berdiri di tempatnya. Cekikikan mereka, walaupun hanya sesekali,
lalu segera berubah menjadi tawa yang keras. Sekali lagi Sun Tsu mengatakan
kepada para wanita itu bahwa perintah-perintah yang tidak dapat dipahami secara
tegas adalah kesalahan dari para komendan, dan ia kemudian mengulangi lagi
latihan tersebut.
Kembali genderang ditabuh, perintah-perintah diteriakkan, dan sekali
lagi para wanita tertawa. Sun Tsu lagi-lagi menegaskan, perintah yang kurang
jelas adalah kesalahan dari para komendan. Akan tetapi, perintah yang telah
disampaikan dengan lugas namun tetap tidak dipatuhi, maka itu menjadi kesalahan
pihak yang dipimpin. Dengan kata-kata tersebut, sang jendral memerintahkan
algojo untuk memenggal kepala dua selir utama, walaupun saat itu diprotes oleh
Sang Panguasa, Pangeran He Lu.
Sun Tzu kemudian begitu saja menunjuk dua wanita lain untuk memimpin
pasukan dan melanjutkan latihan. Ia sangat paham makna penting dari disiplin
dalam medan pertempuran dan ia bertindak dengan kata-kata yang sangat bengis
dan kasar untuk memastikan bahwa ia memiliki disiplin, bahkan dalam pasukan yang
tampak hampir mustahil ini.
Pada giliran berikutnya ketika perintah-perintah diteriakkan, para
wanita berlatih tanpa cela. Kemudian Sang Penguasa diminta untuk menyaksikan
pandangan yang hampir mustahil ini, satu tawaran yang ditampiknya karena Sang
Penguasa merasa kehilangan dua selir favoritnya. Akibatnya, Pangeran He Lu
dipandang sebagai pemimpin yang hina oleh Sun Tzu.
Anda tertarik membaca secera keseluruhan karya yang luar biasa ini?
Silahkan langsung saja mendapatkannya di toko-toko buku terdekat Anda. Semoga
berguna.