Bisakah Demokrasi Kita Seberani Amerika?
Pemilu Amerika sedang berlangsung dengan kandidat Donald Trump bersaing dengan Kamala Harris, seorang wanita keturunan Asia, India - Amerika, Afrika - Amerika dan perolehannya sudah bisa diketahui. Pertanyaan pentingnya, seberani apa demokrasi kita saat ini?
Pemilu di negara-negara maju mengajarkan kita untuk mendasarkan menentukan pemimpin bukan karena berasal dari mana, identitasnya apa, tapi dipilih karena kerja kerasnya untuk rakyat. Sebelumnya Obama setidaknya membuktikan hal tersebut, dan kini Kamala Harris, wanita yang seandainya bisa terpilih akan menjadi wanita pertama dalam sejarah US. Kalaupun tidak, ia sudah menjadi wakil presiden pertama wanita US.
Harapan banyak orang seharusnya sejak dini bangsa Indonesia mencegah adanya politik identitas. Negara-negara maju semacam Amerika US dan Inggris UK telah membuktikannya. Mereka bisa memilih tanpa melihat identitas yang melekat kepada tokoh. Tapi sejauh mana ia mampu memajukan negara dan bangsanya.
Mereka bisa memilih dengan tidak melihat latar belakang suku, agama, kepercayaan dan seterusnya. Tapi bisakah demokrasi kita seberani negara-negara maju tersebut? Kesengetikan pemilu di berbagai negara khususnya di US mungkin hampir sama dengan kesengitan Pemilu di Indonesia, tapi setiap Pemilu berlangsung mereka merampungkan dengan baik setiap pertikaian yang muncul.
Buku yang akan saya angkat berjudul: A Long Time Coming karya dari Evan
Thomas. Bagi kita yang kesulitan membaca dalam bahasa Inggris, jangan khawatir
karena buku di atas telah diterjemahkan oleh Penerbit Gramedia dengan judul
yang sama dengan menggunakan sub judulnya: Kampanye Inspiratif dan Sengit di
Tahun 2008 Serta Kemenangan Obama yang Bersejarah.
Sebuah sejarah yang boleh dibilang terbalik menimpa sejarah Amerika di
mana untuk pertama kalinya seorang keturunan kulit hitam bernama Barack Obama menjadi presiden. Obama pernah tinggal di
negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia yaitu di Indonesia.
Obama sejak 20
Januari 2009 menjadi orang nomer satu di Amerika, sebuah negara yang menurut
buku ini merupakan bangsa yang untuk undang-undang dasarnya pernah mendukung
adanya perbudakan dan menyangkal hak-hak orang-orang kulit hitam tersebut.
Bukan hanya itu, Obama malah terpilih kembali untuk jabatan kedua kalinya menduduki istana Gedung Putih. Makanya penting untuk disimak buku ini karena tentu saja menjadi tidak mudah
ketika sebuah perubahan besar terjadi termasuk dalam perpolitikan Amerika.
Judul Buku : A Long Time Coming
Penulis : Evan Thomas
Penerbit : Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun : 2008
Halaman : 264 hlm
Dari segi perkiraan dengan dilihat dari berbagai latar belakang pribadi
Obama sendiri, seperti warna kulitnya yang hitam, namanya yang tidak biasa
kalau tidak dibilang aneh, latar belakang keluarganya yang tidak biasa bisa
saja menjadi pelemah jalan Obama bisa melenggang ke kursi presiden Amerika yang
ke 44 (sejak dia menjabat). Tapi dalam kenyataannya Obama yang berkendaraan
politik melalui Partai Demokrat tersebut menang telak mengalahkan saingannya
John McCain dari Partai Republik. Menurut buku ini, Obama bisa melenggang,
sebagian, karena slogannya bahwa pencalonannya melintasi semua suku bangsa.
Menurut analisa buku ini, Obama bisa melenggang ke kursi presiden yang
tentu saja tidak mudah itu karena dia tampil sebagai politisi kiri-tengah yang
tampak lebih membumi, bukan sosok liberal Great Society, tetapi seorang yang
sesuai tradisi Bill Clinton, meyakini pencapaian sasaran-sasaran pregresif
melalui sarana garis tengah dan diselingi pesan kultural konservatif. Dan tudingan
“sosialis” dari McCain-Sarah Palin sebagian gagal karena dirasa terlalu
berlebihan. Itu merupakan pertempuran hebat antara dua kubu tersebut.
Nah, buku ini menulis bagaimana perjuangan dan strategi dari berbagai
tokoh yang terlibat dalam ‘pertempuran’ untuk menuju kursi presiden. Sebuah
buku yang layak untuk dibaca untuk menjadi pengetahuan mengenai perpolitikan di
Amerika.
Lebih mengherankan lagi bahwa untuk yang kedua kalinya Mr. Obama kembali
menduduki kursi presiden Amerika Serikat setelah mengalahkan Mitt Romney dari
Partai Republik. Bisakah itu terjadi di Indonesia yang katanya menjadi negara dengan demokrasi cukup baik di dunia. Tapi bukan hanya itu, untuk pemilihan presiden tahun 2020 di mana Joe Biden menggandeng Kamala Harris seorang wanita keturunan Asia tepatnya India-Amerika. Perlu dicatat juga bahwa Kamala Harris adalah wanita pertama yang menduduki jabatan wakil presiden dalam sejarah Amerika.
Bisakah seorang Kristen, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, Aliran Kepercayaan lain bisa menduduki jabatan Presiden? Saya tidak terlalu berharap, dan tidak berani untuk berkeyakinan seperti itu. Apalagi kalau politik identitas masih terus digaungkan dan masih dijadikan cara untuk meraih kemenangan. Amerika sudah membuktikan, tapi entah kapan kita bisa melakukan? Terserah apa kata Rakyat Indonesia.
Komentar
Posting Komentar