Belajar dari Pemilu AS: Demokrasi Tanpa Politik Identitas dalam Buku A Long Time Coming Karya Evan Thomas

Daftar Isi
 

Demokrasi Tanpa Politik Identitas: Refleksi untuk Indonesia dari Buku A Long Time Coming Karya Evan Thomas

Pemilu Amerika Serikat 2024 kembali menyita perhatian dunia. Donald Trump, tokoh konservatif kontroversial, berhasil memenangkan persaingan ketat melawan Kamala Harris, seorang wanita keturunan Asia dan Afrika-Amerika. Terlepas dari hasil akhirnya, yang paling menarik bukanlah siapa yang menang, melainkan bagaimana demokrasi di negara maju bisa berjalan tanpa mendasarkan pilihan pada identitas semata.

Hal ini mengingatkan kita pada momen historis dalam pemilu AS tahun 2008 yang tercatat dalam buku A Long Time Coming karya Evan Thomas. Buku ini secara detail menggambarkan bagaimana Barack Obama, seorang pria keturunan Afrika-Amerika, menaklukkan panggung politik AS hingga terpilih menjadi presiden ke-44.

Kini, versi terjemahan buku tersebut telah tersedia di Indonesia dengan judul lengkap: A Long Time Coming: Kampanye Inspiratif dan Sengit di Tahun 2008 Serta Kemenangan Obama yang Bersejarah, diterbitkan oleh Gramedia. Ini adalah buku yang layak dibaca oleh siapa pun yang tertarik pada perkembangan demokrasi, khususnya dalam konteks keadilan dan inklusivitas.

Politik Identitas: Ancaman atau Kesadaran?

Di banyak negara berkembang termasuk Indonesia, politik identitas kerap kali dimanfaatkan untuk memenangkan suara. Sayangnya, cara ini justru mempersempit ruang demokrasi. Kita seharusnya belajar dari Amerika dan negara-negara maju lainnya yang mampu memisahkan identitas pribadi dari kinerja dan kapabilitas pemimpin.

Obama berhasil menjadi presiden bukan karena warna kulitnya, tetapi karena pesan perubahan yang dibawanya, kerja kerasnya dalam membangun kepercayaan publik, serta strateginya dalam menggerakkan masyarakat lintas ras dan golongan. Hal yang sama bisa terjadi di Indonesia jika kita lebih fokus pada rekam jejak dan visi calon pemimpin, bukan latar belakang etnis, agama, atau asal usulnya.

Refleksi untuk Indonesia

Buku A Long Time Coming tidak hanya menceritakan sosok Obama, tetapi juga menggambarkan transformasi sosial dan politik dalam demokrasi Amerika. Ini menjadi cermin bagi kita di Indonesia. Bisakah kita menyelenggarakan pemilu tanpa terseret dalam politik identitas yang membelah masyarakat?

Pemilu kita sering kali panas, bahkan penuh kecurigaan. Tapi seperti yang ditunjukkan oleh AS dalam berbagai kontestasi politiknya—meskipun sengit, proses tetap dihormati dan hasilnya diterima dengan dewasa. Inilah demokrasi matang yang perlu kita teladani.

 
Judul Buku   : A Long Time Coming
Penulis         : Evan Thomas
Penerbit       : Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun          : 2008
Halaman      : 264 hlm
 
Dari segi perkiraan dengan dilihat dari berbagai latar belakang pribadi Obama sendiri, seperti warna kulitnya yang hitam, namanya yang tidak biasa kalau tidak dibilang aneh, latar belakang keluarganya yang tidak biasa bisa saja menjadi pelemah jalan Obama bisa melenggang ke kursi presiden Amerika yang ke 44 (sejak dia menjabat). Tapi dalam kenyataannya Obama yang berkendaraan politik melalui Partai Demokrat tersebut menang telak mengalahkan saingannya John McCain dari Partai Republik. Menurut buku ini, Obama bisa melenggang, sebagian, karena slogannya bahwa pencalonannya melintasi semua suku bangsa.

Menurut analisa buku ini, Obama bisa melenggang ke kursi presiden yang tentu saja tidak mudah itu karena dia tampil sebagai politisi kiri-tengah yang tampak lebih membumi, bukan sosok liberal Great Society, tetapi seorang yang sesuai tradisi Bill Clinton, meyakini pencapaian sasaran-sasaran pregresif melalui sarana garis tengah dan diselingi pesan kultural konservatif. Dan tudingan “sosialis” dari McCain-Sarah Palin sebagian gagal karena dirasa terlalu berlebihan. Itu merupakan pertempuran hebat antara dua kubu tersebut.

Nah, buku ini menulis bagaimana perjuangan dan strategi dari berbagai tokoh yang terlibat dalam ‘pertempuran’ untuk menuju kursi presiden. Sebuah buku yang layak untuk dibaca untuk menjadi pengetahuan mengenai perpolitikan di Amerika.
 
Lebih mengherankan lagi bahwa untuk yang kedua kalinya Mr. Obama kembali menduduki kursi presiden Amerika Serikat setelah mengalahkan Mitt Romney dari Partai Republik. Bisakah itu terjadi di Indonesia yang katanya menjadi negara dengan demokrasi cukup baik di dunia. Tapi bukan hanya itu, untuk pemilihan presiden tahun 2020 di mana Joe Biden menggandeng Kamala Harris seorang wanita keturunan Asia tepatnya India-Amerika. Perlu dicatat juga bahwa Kamala Harris adalah wanita pertama yang menduduki jabatan wakil presiden dalam sejarah Amerika.
 
Bisakah seorang Kristen, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, Aliran Kepercayaan lain bisa menduduki jabatan Presiden? Saya tidak terlalu berharap, dan tidak berani untuk berkeyakinan seperti itu. Apalagi kalau politik identitas masih terus digaungkan dan masih dijadikan cara untuk meraih kemenangan. Amerika sudah membuktikan, tapi entah kapan kita bisa melakukan? Terserah apa kata Rakyat Indonesia.

Kesimpulan

Demokrasi tanpa politik identitas bukanlah impian utopis. Negara seperti Amerika Serikat telah membuktikannya melalui tokoh seperti Barack Obama dan kini Kamala Harris yang meskipun tidak menang, mampu menembus batas stereotip politik. Indonesia pun bisa menuju ke arah yang sama—asal kita berani meletakkan kualitas dan integritas di atas identitas.

Buku tentang Pemilu Amerika dengan Presiden Donald Trump bisa dilihat Di Sini.

Posting Komentar