Menyelami Kehidupan Waria dengan Empati
Secara fisik mereka adalah laki-laki, dan kel4min mereka juga normal, namun cara mereka berjalan, berbicara, dan berdandan sering kali mirip dengan perempuan, seolah-olah jiwa mereka terjebak dalam tubuh yang tidak sesuai. Hanya dengan pendekatan empati kita bisa menerima mereka.
Sementara itu, banyak dari kita merasa bingung ketika melihat sesuatu yang dianggap tidak biasa ini karena kita biasa hidup dalam budaya yang seringkali hanya melihat segala sesuatu secara hitam dan putih. Jika bukan laki-laki, maka perempuan, atau sebaliknya, tanpa memberikan ruang untuk memahami aspek lain yang berbeda dari norma yang ada. Akibatnya, kita cenderung memberikan label sebagai sesuatu yang aneh, tidak biasa, atau tidak pantas.
Menyelami kehidupan waria di negeri ini benar-benar memilukan. Perjuangan mereka tidak hanya melawan stigma masyarakat yang menolak keberadaan mereka, tetapi juga melibatkan pertarungan internal dengan kebingungan diri yang berbeda dari mayoritas orang kebanyakan. Hanya dengan pendekatan empati kita bisa berpikir obyektif tentang mereka.
Belum lagi penolakan dari masyarakat yang sering kali terungkap dalam berbagai bentuk, menjadi bahan ejekan, cemoohan, pelecehan, dan seringkali dipandang rendah. Tidak jarang pula keluarga sendiri enggan menerima keberadaan mereka karena dianggap aib. Hanya segelintir orang yang memilih jalur waria ini yang akhirnya berhasil mengatasi tantangan tersebut, berani tampil apa adanya, dan bahkan mampu menjadi figur publik.
Menjadi seorang waria seringkali berarti mengikuti jalan yang sangat minoritas dan mungkin tidak diharapkan sebelumnya. Banyak kisah waria mengungkapkan kebingungan mereka karena merasa seperti perempuan yang terjebak dalam tubuh laki-laki. Bayangkan betapa menyiksa ketika seseorang yang oleh keluarga, lingkungan, dan budayanya dianggap laki-laki, namun dia merasa sebagai perempuan di dalamnya. Seringkali, ini menimbulkan pemberontakan dan kebingungan tentang mengapa mereka berbeda, mengapa mereka tidak bisa dengan tegas menjadi laki-laki atau perempuan seperti kebanyakan orang lain.
Tidak perlu mencari contoh yang jauh, masalah penamaan yang merupakan bagian dari identitas dalam budaya tempat seseorang tinggal sudah sangat jelas. Seseorang itu akan diberi nama laki-laki. Namun, semangat, keinginan, emosi, dan kecenderungannya adalah perempuan. Keinginan untuk mengubah nama saja sudah menjadi masalah besar, apalagi jika berkaitan dengan perilaku. Pastilah kebimbangan menjadi bagian perjalanan seorang waria.
Sering kali kita menyaksikan kehidupan waria menjadi objek candaan dan ejekan. Namun, perlu diingat bahwa mereka juga memiliki perasaan dan dapat merasa sakit hati serta terluka seperti kita semua. Kehadiran mereka tidak sepatutnya dipandang sebagai sesuatu yang aneh atau berbeda. Mungkin aneh bagi kita, tapi ketahuilah mereka juga bergumul dengan dirinya dan kini ditambah oleh penghakiman masyarakat lingkungannya.
Buku yang mengandung penelitian tentang waria dapat menjadi bacaan yang berharga untuk merubah cara berpikir dan pandangan terhadap waria. Mereka mungkin mengalami kebingungan tentang identitas diri, namun kita seringkali hanya memberikan label berdasarkan pengalaman yang pernah kita saksikan dalam budaya di mana kita berasal.
Judul : Hidup Sebagai Waria
Penulis : Koeswinarno
Penerbit : LKiS
Tahun : Yogyakarta, tahun 2004
Tebal : xx + 258 halaman
Para waria itu sebenarnya tidak memiliki ruang sosial yang memadai akibatnya mereka berusaha untuk tetap survive dengan penolakan keberadannya tersebut dengan banyak cara yang terkadang menjerumuskan mereka untuk menjadi pel4cur. Mari kita telusuri dari awal bagaimana perjuangan mereka di tengah-tengah masyarakat.
Ketika mereka memilih untuk mengikuti naluri mereka dan menjadi waria, ruang lingkup sosial mereka sering kali menjadi terbatas. Mereka harus bertahan hidup dengan bekerja dan memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Banyak di antara mereka meninggalkan rumah karena ditolak oleh keluarga, dan ketika berada di luar, mereka mencari orang-orang yang memiliki nasib dan kecenderungan serupa sebagai waria.
Pekerjaan sering kali berkaitan dengan tingkat pendidikan, dan waria sering kali tidak dapat bertahan di lingkungan pendidikan yang mendukung, sehingga mereka harus mencari alternatif untuk bertahan hidup. Waria yang memiliki keterampilan seperti menjahit atau merias wajah beruntung karena dapat bekerja di salon kecantikan dengan penghasilan yang cukup untuk menghidupi diri mereka. Namun, bagi mereka yang hanya memiliki pendidikan dasar dan tidak memiliki keterampilan tertentu, sering kali terpaksa menjadi pekerja s3ks atau pengamen untuk bertahan hidup.
Buku ini bagi penulis adalah pembuka mata mengenai kehidupan waria. Melalui buku ini, penulis memahami perbedaan antara waria dan homos3ksual, yang sering kali terasa kabur. Kaum homos3ksual biasanya tidak menghadapi hambatan sosial dalam interaksi dan perilaku mereka, karena mereka kebanyakan tidak mengalami krisis identitas. Di negara-negara maju, mereka menempati berbagai posisi penting yang menunjukkan bahwa penerimaan terhadap mereka bukan masalah. Namun, waria menghadapi tekanan sosial yang sangat berat dan kurang mendapat tempat dalam struktur masyarakat.
Penulis meninjau konteks di Indonesia, di mana waria dikaitkan dengan tiga aspek: pertama, keberadaan mereka dalam struktur masyarakat, seperti dalam dunia Warok di Jawa Timur atau dalam seni Ludruk yang sering kali menampilkan tokoh perempuan yang diperankan oleh laki-laki (halaman 10), yang sebenarnya sudah lama ada. Kedua, fenomena waria sudah lama ada di masyarakat. Ketiga, waria lebih menarik dilihat dari perspektif budaya daripada sebagai individu.
Kita harus bersyukur bahwa di zaman modern ini, waria mulai mendapat penerimaan yang lebih luas dari masyarakat, walaupun masih terbatas. Merlyn Sopyan, seorang waria yang telah menerima dan menyadari keberadaannya, mengungkapkan rasa syukurnya atas penerimaan dirinya terhadap perubahan tubuh dan jiwa. Oleh karena itu, membaca buku ini diharapkan dapat mengubah perspektif kita terhadap waria.
Komentar
Posting Komentar