Babel dan Ilusi Ilmu Pengetahuan: Ketika Pendidikan Menjadi Alat Penindasan
Pendidikan sering digambarkan sebagai pintu menuju kebebasan. Ilmu pengetahuan sering dipuja sebagai cahaya yang menerangi jalan manusia. Namun, dalam novel Babel: Or the Necessity of Violence karya R.F. Kuang, kita diajak mempertanyakan narasi luhur ini. Apakah benar bahwa ilmu selalu membebaskan? Atau justru ada saat di mana ilmu dan pendidikan digunakan untuk menindas?
Kuang tidak sekadar menulis novel fantasi sejarah, ia menulis gugatan terhadap kolonialisme, rasisme institusional, dan ilusi netralitas akademik. Dengan latar alternatif abad ke-19, Babel menyodorkan kenyataan pahit: lembaga pendidikan terkemuka bisa menjadi benteng kekuasaan kolonial.
Silver-Working dan Bahasa sebagai Senjata Kekuasaan
Di dalam dunia Babel, kekuatan sihir (silver-working) berasal dari ketidaksempurnaan penerjemahan antara dua bahasa. Kata-kata yang tidak bisa sepenuhnya diterjemahkan justru menghasilkan daya magis, dan daya ini dimanfaatkan oleh Inggris untuk membangun kekuatan industrinya, memperkuat koloninya, dan mengontrol dunia.
Konsep ini tidak hanya brilian secara imajinatif, tapi juga sarat makna. Kuang ingin menyampaikan bahwa bahasa adalah alat kekuasaan. Penerjemahan bukan proses netral; ia bisa menjadi mekanisme dominasi budaya. Apa yang tidak bisa diterjemahkan — atau sengaja disalahartikan — bisa menjadi sumber kendali atas bangsa lain.
Ketika Universitas Menjadi Mesin Kekuasaan
Oxford, simbol kemegahan akademik, dalam Babel justru tampil sebagai pusat kolonialisme intelektual. Tokoh utama, Robin Swift, seorang anak yatim dari Kanton yang dibesarkan untuk menjadi bagian dari sistem ini, lambat laun menyadari bahwa ia tidak lebih dari roda penggerak mesin penindasan. Pengetahuan yang ia kuasai tidak membebaskannya — justru menjadikannya kaki tangan kekuasaan.
Ini adalah kritik tajam terhadap institusi pendidikan elit yang mengklaim universalitas nilai, namun pada kenyataannya mewakili kepentingan geopolitik tertentu. Kuang mengajak kita bertanya: Apakah semua “kemajuan” yang dihasilkan lembaga pendidikan benar-benar berpihak pada keadilan?
Kolonialisme, Kekerasan, dan Etika Ilmu
Kuang juga menggugat etika kekerasan dalam perjuangan melawan penindasan. Judulnya sendiri mengandung pertanyaan: "The Necessity of Violence" — apakah kekerasan diperlukan untuk melawan sistem yang dibangun secara damai namun menindas?
Pertanyaan ini menggema dalam sejarah nyata. Dari perlawanan rakyat India terhadap kolonialisme Inggris, hingga perjuangan intelektual di era pascakolonial, kita melihat bahwa ilmu sering kali dibajak oleh kekuasaan.
Judul : Babel: Or the Necessity of Violence
Penulis : R.F. Kuang
Penerbit : Harper Voyager
Tahun : 2022
Categories: Science Fiction - Fantasy Fiction
Refleksi untuk Zaman Sekarang
Babel bukan sekadar cerita alternatif tentang abad ke-19. Ia adalah cermin untuk zaman kita. Saat ini, banyak universitas besar dunia masih menjadi alat dari industri besar, kebijakan luar negeri negara adidaya, bahkan perusahaan teknologi yang menyokong eksploitasi data dan tenaga kerja murah.
Kita perlu bertanya ulang:
Apakah kurikulum yang kita pelajari membebaskan, atau malah membentuk kita menjadi bagian dari sistem yang tidak adil?
Siapa yang diuntungkan dari pengembangan ilmu pengetahuan?
Apakah bahasa dan budaya lokal kita diberi ruang, atau sekadar dijadikan objek kajian yang tidak dimengerti secara hidup?
Kesimpulan: Mencintai Ilmu, Tapi Tetap Kritis
Babel mengajak kita mencintai bahasa, mencintai pengetahuan, tapi tidak dengan buta. Kuang mengingatkan bahwa ilmu tidak hidup di ruang hampa. Ia dibentuk oleh sistem. Dan sistem bisa adil, bisa pula menindas.
Sebagai pembaca, pendidik, dan pelajar, kita diajak bukan hanya untuk menimba ilmu, tapi mengawasinya — dan jika perlu, melawannya bila ada yang salah.
Posting Komentar