Mantra Penjinak Ular: Kuntowijoyo dan Kritik Kekuasaan yang Tak Pernah Usai
Sastra yang Tak Sekadar Cerita
Karya-karya Kuntowijoyo, baik novel maupun cerpen, tak pernah lepas dari napas kritik sosial dan refleksi kebudayaan. Ia bukan hanya sastrawan, tapi juga pemikir dan sejarawan yang tajam. Dalam novelnya Mantra Penjinak Ular, ia menyuguhkan sebuah alegori yang tetap relevan hingga hari ini — meski ia menulisnya dalam bayang-bayang rezim Orde Baru.
Sama seperti dalam cerpennya yang terkenal, Dilarang Mencintai Bunga-bunga, Kuntowijoyo menunjukkan bagaimana kekuasaan bisa merayap ke ranah paling personal, membatasi cinta, pilihan, bahkan rasa. Ia menulis dengan gaya simbolik, tapi sarat makna, mengajak pembaca tidak berhenti pada cerita, tapi masuk ke inti persoalan: siapa yang berkuasa, siapa yang dikorbankan, dan apa yang bisa dilakukan?
Makna “Ular” dan “Mantra” dalam Konteks Kekuasaan
Dalam Mantra Penjinak Ular, ular bukan sekadar hewan. Ia adalah simbol kekuasaan yang berbahaya — membelit, mematuk, meracuni — jika tidak dijinakkan. “Mantra” adalah lambang pengetahuan lokal, spiritualitas rakyat kecil, dan kekuatan budaya yang bisa melawan kekuasaan tak terlihat itu.
Novel ini menghadirkan penjinak sebagai figur perlawanan. Ia bukan tokoh heroik ala revolusi, tapi sosok yang diam-diam menantang struktur kekuasaan. Ini menjadi penting karena dalam realitas Indonesia, baik dulu maupun kini, banyak bentuk kekuasaan justru tersembunyi di balik jubah legalitas atau populisme.
Relevansi dalam Era Demokrasi: Ular yang Masih Ada
Meskipun Kuntowijoyo menulis dalam konteks Orde Baru, novel ini tetap relevan dalam sistem demokrasi Indonesia sekarang. Demokrasi bukan berarti bebas dari penyalahgunaan kekuasaan. Justru dalam sistem yang seharusnya terbuka, kekuasaan bisa hadir lebih licin — dalam bentuk populisme, politik uang, hingga oligarki.
Ular itu tetap hidup. Bedanya, kini ia menyusup lewat layar televisi, media sosial, dan janji kampanye. Kita memerlukan “mantra” baru: kesadaran kritis, literasi politik, dan keberanian menyuarakan kebenaran.
Judul : Mantra Penjinak Ular
Penulis : Kuntowijoyo
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun : Jakarta, Cetakan Kedua, September 2013
Halaman : x + 274 halaman
Sastra sebagai Jalan Kesadaran Kolektif
Kuntowijoyo percaya bahwa sastra bisa menjadi jalan menuju kesadaran kolektif. Ia tidak hanya menulis untuk menghibur, tetapi untuk mengungkap. Dalam Mantra Penjinak Ular, ia menunjukkan bagaimana rakyat kecil sebenarnya punya kekuatan spiritual dan budaya untuk menjinakkan kekuasaan. Tapi kekuatan itu perlu disadari, dipelihara, dan dibangkitkan.
Sama halnya dengan Dilarang Mencintai Bunga-bunga, di mana cinta dan harapan harus tunduk pada kuasa yang tak masuk akal, novel ini menyoroti absurditas kekuasaan yang tak manusiawi.
Kesimpulan: Membaca Kembali, Menyadari Kembali
Membaca Mantra Penjinak Ular hari ini adalah upaya untuk tidak lupa bahwa demokrasi pun bisa melahirkan ketimpangan jika tidak dikawal. Kuntowijoyo mengajak kita percaya pada kekuatan lokal, spiritualitas rakyat, dan pentingnya narasi tandingan terhadap hegemoni kekuasaan.
Karena pada akhirnya, “ular” itu akan selalu ada. Pertanyaannya: siapa yang berani menjinakkannya?
Posting Komentar