Tanah Jarang, Ketergantungan, dan Filsafat Nilai dalam Dunia Modern

Daftar Isi

Kita hidup di zaman yang digerakkan oleh teknologi, namun ironisnya, kita makin terputus dari pemahaman tentang apa yang menopang teknologi itu sendiri. Salah satu contohnya adalah tanah jarang—sekelompok logam yang tak terlihat namun sangat menentukan. Di balik penggunaannya dalam motor listrik, sistem militer, hingga ponsel pintar, tersembunyi pertanyaan filosofis: apa yang sesungguhnya kita nilai, dan kepada siapa kita menggantungkan nilai itu?

Berbagai pandangan dar para filsuf dapat dilihat dari sebuah buku tebal karangan B. A. G. Fuller berjudul A History of Philosophy, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Sejarah Filsafat. Tentu saja buku ini tidak pernah menyinggung soal tanah jarang, tapi para filsuf melihat dari banyak sisi.

Tanah Jarang sebagai Metafora Nilai Tersembunyi

Apa itu Tanah Jarang?

Dalam bahasa filsafat, sesuatu yang jarang tampak namun menopang segalanya sering dianggap sebagai nilai dasar atau fondasi eksistensial. Tanah jarang memenuhi peran ini dalam tatanan dunia modern. Kita mengandalkannya, tapi tak mengenalnya. Kita membutuhkannya, tapi tak memedulikannya.

Di sini kita bisa menarik benang ke gagasan Martin Heidegger tentang "pengingkaran keberadaan" (Seinsvergessenheit): manusia modern sibuk mengejar hasil akhir (gadget, kemudahan, kekuasaan), tetapi melupakan asal-muasal dan proses menjadi dari hal-hal itu. Tanah jarang adalah bagian dari "yang dilupakan" dalam upaya manusia menguasai dunia.

Ketergantungan dan Krisis Otonomi

Dalam dunia global, negara-negara maju justru sangat bergantung pada negara lain untuk hal yang paling dasar. Ketika AS menggantungkan kebutuhan teknologi pada tanah jarang dari Tiongkok, muncul krisis nilai: bagaimana mungkin otonomi teknologi dibangun di atas ketergantungan ekstraktif?

Ini bisa dikaitkan dengan pemikiran Simone Weil, filsuf Prancis yang banyak menulis soal ketergantungan dan kekuasaan. Bagi Weil, ketergantungan yang tak disadari adalah bentuk perbudakan modern. Dalam konteks tanah jarang, ketergantungan global menciptakan bentuk baru dari penjajahan tak langsung—bukan dengan senjata, tetapi dengan kendali atas sumber daya vital.

Nilai, Eksploitasi, dan Kehendak Kuasa

Dari sudut pandang Nietzschean, kita juga bisa membaca tanah jarang sebagai bagian dari kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht). Negara yang menguasai tanah jarang tak hanya menguasai teknologi, tetapi juga menentukan arah masa depan. Pertanyaannya: apakah nilai logam ini murni dari kelangkaannya, atau dari keinginan manusia untuk mengendalikan sesama melalui teknologi?

Jika tanah jarang adalah "nilai", maka eksploitasi terhadapnya mencerminkan nilai-nilai kita yang tak terucap: efisiensi, kendali, kecepatan, dominasi. Semua itu menyingkap bagaimana dunia modern menakar nilai bukan dari makna, tapi dari manfaat jangka pendek dan kemampuan memanipulasi realitas fisik.

Menuju Etika Ketergantungan yang Baru

Barangkali kita perlu memikirkan ulang bukan hanya soal "ketersediaan" tanah jarang, tapi juga etika ketergantungan. Apakah ketergantungan selalu buruk? Atau justru ia membuka jalan bagi kerja sama lintas batas yang lebih etis, adil, dan sadar lingkungan?

Seperti yang dikatakan oleh Emmanuel Levinas, dalam ketergantungan terdapat kemungkinan untuk mengenal wajah "yang lain". Ketika kita sadar bahwa kehidupan modern kita ditopang oleh kerja tambang di tempat jauh, kita dihadapkan pada tanggung jawab moral terhadap mereka yang hidup dari—dan menderita karena—proses itu.

Penutup: Tanah Jarang, Cermin Dunia Kita

Tanah jarang tidak hanya menceritakan kisah logam langka—ia adalah cermin dari dunia modern yang kompleks, di mana nilai tidak lagi bersumber dari makna hakiki, tetapi dari fungsionalitas dan dominasi. Dalam cermin itu, kita bisa bertanya ulang: apa yang benar-benar kita anggap bernilai? Dan bagaimana cara kita menghargainya tanpa harus mengeksploitasi?

Posting Komentar