Cut-Off, Support System, dan Peran Orang Tua dalam Budaya Indonesia: Mengkritisi Buku Adult Survivors of Toxic Family Members

Pendahuluan

Dalam beberapa tahun terakhir, konsep cut-off atau memutus hubungan dengan anggota keluarga toksik mulai banyak dibicarakan di Indonesia. Salah satu buku yang turut mendorong diskusi ini adalah Adult Survivors of Toxic Family Members karya psikolog klinis Sherrie Campbell. Buku ini berfokus pada bagaimana seseorang dapat melindungi diri dari relasi keluarga yang merusak, membangun batasan sehat, hingga memulihkan diri dari rasa malu dan kritik yang terus-menerus.

Namun, tantangan muncul ketika gagasan dalam buku tersebut ditempatkan dalam budaya Indonesia yang sangat kolektif dan menjunjung tinggi hubungan darah. Cut-off tidak hanya urusan pribadi, tetapi bisa berdampak sosial, emosional, bahkan moral. Lalu bagaimana sebenarnya kita memahami konsep cut-off ini? Apa peran support system? Dan bagaimana dinamika orang tua sebagai “pemersatu” keluarga berpengaruh dalam proses tersebut?

Artikel ini mencoba menjawabnya.

1. Memahami Konsep Cut-Off Menurut Sherrie Campbell

1.1 Cut-off sebagai langkah terakhir, bukan pilihan pertama

Campbell tidak menyarankan cut-off sebagai solusi cepat. Menurutnya, cut-off dilakukan hanya ketika semua bentuk batasan sehat gagal, dan ketika hubungan tersebut jelas menyebabkan:
    •    luka emosional berkepanjangan,
    •    pelecehan verbal atau psikologis,
    •    manipulasi, gaslighting, atau rasa bersalah yang terus ditanamkan,
    •    hilangnya harga diri dan keamanan emosional.

Dengan demikian, cut-off adalah tindakan perlindungan diri, bukan bentuk pembangkangan.

1.2 Tidak selalu permanen

Campbell juga menekankan bahwa cut-off tidak harus selamanya. Ada kemungkinan rekonsiliasi—jika pihak yang toksik berubah perilakunya, atau jika penyintas sudah cukup pulih dan stabil untuk menentukan batasan baru.

1.3 Cut-off bukan berarti sendirian

Satu poin penting dari Campbell adalah:
cut-off hanya sehat jika dibangun di atas fondasi support system yang kuat.

2. Tantangan Cut-Off dalam Budaya Keluarga Indonesia

2.1 Keluarga dianggap sumber identitas dan moralitas

Di Indonesia, keluarga tidak hanya tempat pulang, tetapi juga penentu reputasi, identitas sosial, dan moral. Karena itu, memutus hubungan sering dianggap:
    •    tindakan durhaka,
    •    memalukan keluarga,
    •    tidak sesuai nilai agama,
    •    atau terlalu “barat” dan individualistik.

Akibatnya, banyak penyintas keluarga toksik merasa terpenjara dalam dilema moral dan sosial.

2.2 Tekanan sosial: keluarga besar, tetangga, komunitas

Di masyarakat yang komunal, keputusan pribadi mudah menjadi konsumsi publik. Ketika seseorang menjaga jarak dari keluarga toksik, sering muncul komentar:

“Namanya keluarga, harus sabar.”
“Masa sama orang tua sendiri begitu?”
“Sudahlah, maafkan saja.”

Tekanan semacam ini bisa memperburuk kondisi mental penyintas.

2.3 Konflik internal keluarga sering bersifat kolektif

Memutus hubungan dengan satu orang, bisa memicu reaksi berantai dari anggota lain. Saudara ikut tersinggung, ipar ikut menilai, tetangga ikut berkomentar. Konteks ini berbeda jauh dari masyarakat Barat yang lebih individualis.

2.4 Harmoni semu lebih diprioritaskan daripada kesehatan emosional

Banyak keluarga Indonesia menghindari konflik, menutupi masalah, dan mendorong anak untuk “bertahan” demi kekeluargaan. Hal ini membuat penyintas merasa bersalah ketika ingin menjaga jarak, meski hubungan tersebut berbahaya.

3. Peran Support System Menurut Sherrie Campbell dan Relevansinya di Indonesia

3.1 Support system sebagai kebutuhan utama penyintas

Sherrie Campbell menyebut “support system” sebagai rumah emosional baru bagi penyintas keluarga toksik. Ini bisa berupa:
    •    sahabat dekat,
    •    pasangan atau keluarga pasangan,
    •    mentor spiritual,
    •    rekan kerja atau komunitas,
    •    psikolog atau konselor,
    •    kelompok pendukung,
    •    atau “chosen family”—keluarga pilihan yang aman secara emosional.

Menurut Campbell, support system bukan sekadar pengganti keluarga, tetapi dasar bagi pemulihan psikis.

3.2 Mengapa support system sangat penting dalam konteks Indonesia

Karena budaya kita menekan individu untuk tetap terikat pada keluarga asalnya, support system eksternal sering menjadi satu-satunya ruang aman bagi penyintas untuk:
    •    bercerita tanpa dihakimi,
    •    mendapatkan validasi,
    •    belajar batasan sehat,
    •    merasakan kehangatan yang tidak mereka dapatkan di rumah.

Support system juga membantu mengatasi efek sosial dari cut-off, seperti gosip atau tekanan moral.

3.3 Keluarga pilihan sebagai konsep yang mulai berkembang

Di Indonesia, banyak orang tanpa sadar sudah membangun “keluarga pilihan”—teman-teman yang jauh lebih suportif dibanding kerabat sendiri. Campbell menormalkan hal ini dan menganggapnya sangat sehat.

4. Peran Orang Tua: Pemersatu atau Justru Sumber Toksisitas?

4.1 Orang tua sebagai “lem sosial” dalam budaya Indonesia

Di banyak keluarga, orang tua—terutama ibu atau ayah—menjadi pusat stabilitas emosional dan sosial. Mereka menjaga hubungan anak-anak, mendorong kebersamaan, dan meredam konflik.

Selama mereka masih hidup, banyak anak menahan diri untuk tidak mengambil jarak dari saudara yang toksik demi tidak menyakiti perasaan orang tua.

4.2 Ketika orang tua justru toksik

Campbell dengan tegas menyatakan bahwa:

“A toxic parent does not unify; they control through loyalty, guilt, and fear.”

Di beberapa keluarga, orang tua menjadi sumber luka utama. Mereka bisa:
    •    meremehkan anak,
    •    memanipulasi emosi,
    •    berpihak pada pelaku dalam keluarga,
    •    menuntut loyalitas tanpa timbal balik.

Dalam situasi seperti ini, peran pemersatu hanyalah ilusi.

4.3 Setelah orang tua tiada: harmoni semu runtuh

Fenomena yang sangat sering terjadi di Indonesia:
    •    Ayah/ibu sebagai penyeimbang
    •    Ketika mereka tiada, konflik yang selama ini dipendam mulai muncul
    •    Anak-anak bebas menunjukkan luka yang selama ini tersembunyi

Banyak penyintas baru berani cut-off setelah orang tua meninggal, karena tekanan moral menghilang.

5. Adaptasi Konsep Cut-Off untuk Budaya Indonesia

5.1 Low-contact lebih realistis daripada no-contact total

Jika cut-off total tidak memungkinkan secara sosial atau emosional, opsi yang lebih aman adalah:
    •    membatasi frekuensi pertemuan,
    •    tidak membuka topik sensitif,
    •    hadir hanya pada acara penting,
    •    menjaga hubungan secara sopan tetapi tidak dekat.

Ini selaras dengan prinsip Campbell tetapi lebih cocok dengan kondisi Indonesia.

5.2 Menetapkan batasan tanpa memicu konflik besar

Contoh batasan sehat:
    •    tidak menjawab pesan yang merendahkan,
    •    tidak memaksakan diri untuk selalu ada,
    •    membiarkan orang lain bertanggung jawab atas emosinya,
    •    tidak ikut dalam drama internal keluarga.

5.3 Memvalidasi diri: kamu berhak memilih ketenangan

Campbell menegaskan bahwa kesehatan mental bukanlah pengkhianatan terhadap keluarga. Penyintas berhak memilih bentuk hubungan yang paling aman bagi diri mereka.

Kesimpulan

Gagasan cut-off dari Sherrie Campbell bukan sekadar ajakan memutus hubungan keluarga, tetapi panduan untuk melindungi diri, membangun batasan sehat, dan menciptakan support system yang aman.

Namun dalam konteks Indonesia, cut-off memerlukan adaptasi. Kita hidup di masyarakat yang sangat menjunjung kekeluargaan, sehingga pemutusan hubungan dapat membawa konsekuensi sosial yang besar. Karena itu, pendekatan seperti low-contact, batasan ketat, serta pembangunan support system eksternal menjadi kunci untuk menjaga kesehatan mental tanpa menimbulkan konflik yang tidak perlu.

Pada akhirnya, keputusan untuk cut-off atau menjaga jarak adalah proses pribadi yang penuh pertimbangan moral, budaya, dan emosional. Yang terpenting, setiap orang berhak menciptakan ruang hidup yang aman—bahkan jika itu berarti mendefinisikan ulang arti “keluarga”.

Posting Komentar untuk "Cut-Off, Support System, dan Peran Orang Tua dalam Budaya Indonesia: Mengkritisi Buku Adult Survivors of Toxic Family Members"