Membongkar Korupsi sebagai Kekuatan: Pelajaran dari Rezim Kriminal Fujimori di Peru
Dalam rangka turut memperingati Hari Pemberantasan Korupsi Sedunia Idebuku mengangkat sebuah buku menarik. Banyak orang mengira korupsi dalam pemerintahan hanyalah masalah "uang pelicin" atau suap kecil. Namun, buku "Corruption as Power: Criminal Governance in Peru during the Fujimori Era (1990-2000)" karya Alfredo Schulte-Bockholt menawarkan perspektif yang jauh lebih gelap: korupsi sebagai mode pemerintahan itu sendiri. Buku ini bukan sekadar sejarah Peru; ia adalah panduan penting untuk memahami bagaimana korupsi tingkat elit dapat mencengkeram dan mengendalikan sebuah negara.
Dirilis oleh Peter Lang International Academic, karya ini wajib dibaca bagi siapa saja yang ingin memahami anatomai sesungguhnya dari korupsi politik dan dampaknya yang merusak demokrasi.
Korupsi Fujimori: Bukan Lagi Kejahatan, Melainkan Alat Kontrol
Periode pemerintahan Presiden Alberto Fujimori di Peru (1990–2000) adalah salah satu contoh paling ekstrem dari korupsi yang terinstitusionalisasi. Schulte-Bockholt berargumen bahwa di bawah rezim Fujimori yang otoriter, korupsi bukanlah penyimpangan (aberration); melainkan fungsi utama dari sistem tersebut.
Inti Argumen Buku: Korupsi di Peru saat itu telah bertransformasi menjadi "Criminal Governance" atau Pemerintahan Kriminal. Negara menjalankan fungsinya dengan cara-cara kriminal, di mana kekuasaan dan kekayaan pribadi dijalankan melalui jaringan ilegal.
Ini jauh berbeda dari korupsi kecil yang kita temui sehari-hari. Ini adalah korupsi yang dilakukan oleh para pemangku kekuasaan tertinggi— korupsi tingkat elit yang melibatkan militer, politisi kunci, dan aktor ekonomi.
Mekanisme Korupsi sebagai Kekuatan: Pelajaran untuk Publik
Lalu, bagaimana korupsi bisa menjadi "kekuatan" yang tak terpisahkan? Schulte-Bockholt menjelaskan mekanisme ini melalui lensa teoretis:
1. Jaringan Perlindungan Pemerasan (Protection Racket)
Penulis menggunakan konsep kriminologi kritis, khususnya dari Mazhab Frankfurt, mengenai perlindungan pemerasan. Dalam konteks Peru, ini berarti:
* Pemerintah menjadi 'Pemeras': Rezim yang dipimpin Fujimori dan tangan kanannya, Vladimiro Montesinos, tidak hanya menerima suap; mereka secara aktif memeras aktor-aktor penting dalam masyarakat dan bisnis.
* Imbalan dari Kepatuhan: Sebagai imbalannya, Montesinos (melalui layanan intelijennya) menawarkan "perlindungan"—misalnya, pembebasan dari tuntutan hukum, lisensi bisnis yang menguntungkan, atau keuntungan selama proses privatisasi.
* Ketergantungan: Dengan cara ini, elit-elit lain (pebisnis, tokoh militer, media) menjadi tergantung pada jaringan kriminal ini. Mereka tidak bisa menjalankan bisnis atau mempertahankan posisi tanpa persetujuan dari Criminal Governance. Korupsi menjadi ketergantungan bagi banyak pihak.
2. Membeli Kekuasaan dan Kontrol MediaBuku ini secara rinci menunjukkan bagaimana dana ilegal digunakan untuk:
* Mengendalikan Militer: Dengan imbalan finansial, kesatuan militer tertinggi menjamin kesetiaan kepada rezim, memastikan tidak ada kudeta yang bisa menggulingkan Fujimori.
* Mengamankan Keputusan Politik: Suap masif digunakan untuk membeli suara anggota kongres, memastikan semua legislasi yang menguntungkan rezim dapat lolos tanpa hambatan.
* Membungkam Kritik: Video-video rahasia (Vladi-videos) membongkar bagaimana Montesinos menyuap pemilik media dan jurnalis agar mereka menyiarkan propaganda yang mendukung rezim dan menekan kritik yang berpotensi merusak.
🛑 Edukasi Publik: Kenali Tanda-tanda Criminal Governance
Kajian Schulte-Bockholt adalah edukasi penting bagi masyarakat global, termasuk di Indonesia, untuk mengenali ciri-ciri ketika sebuah sistem politik bergeser ke arah Pemerintahan Kriminal:
* Sentralisasi Kekuasaan: Kekuasaan terpusat di tangan satu atau dua orang, mengabaikan mekanisme check and balances (seperti saat Fujimori melakukan autogolpe 1992).
* Elite yang Terkooptasi: Tokoh-tokoh kunci dalam militer, pengadilan, dan bisnis tidak lagi melayani publik, tetapi melayani kepentingan rezim kriminal demi keuntungan pribadi.
* Media yang Dibungkam: Kritikus dan media independen dibeli, diintimidasi, atau dihancurkan.
* Penggunaan Represi dan Intelijen: Lembaga intelijen dan aparat keamanan digunakan untuk memeras dan mengawasi, bukan untuk melindungi negara.
"Corruption as Power" menunjukkan bahwa korupsi tingkat tinggi bukan hanya tentang hilangnya uang negara, melainkan hilangnya integritas struktural sebuah bangsa. Saat korupsi menjadi fungsi, bukan malfungsi, demokrasi berada dalam bahaya terbesar.
Berikut ini Kutipan Tentang Korupsi:
1. Korupsi sebagai Mekanisme Kontrol (Criminal Governance)
Kutipan ini menyoroti pergeseran korupsi dari anomali menjadi norma operasional dalam sistem pemerintahan:
“The corruption was not an accidental or secondary feature of the Fujimori regime; rather, it was central to the exercise of power and the maintenance of the state. It functioned as a system of criminal governance through which key actors were controlled and rewarded.”
(Terjemahan: "Korupsi bukanlah fitur insidental atau sekunder dari rezim Fujimori; melainkan, korupsi adalah pusat dari pelaksanaan kekuasaan dan pemeliharaan negara. Korupsi berfungsi sebagai sistem pemerintahan kriminal di mana aktor-aktor kunci dikendalikan dan diberi imbalan.")
2. Peran Sentral Vladimiro Montesinos
Kutipan ini menekankan bagaimana Montesinos dan jaringan intelijennya menjadi arsitek utama jaringan perlindungan pemerasan (protection racket):
“Vladimiro Montesinos, as the de facto head of the National Intelligence Service (SIN), was not merely a corrupt official but the architect of the protection racket. His control over the judicial and military apparatus allowed him to extort and co-opt nearly every sector of Peruvian society, from media owners to political figures.”
(Terjemahan: "Vladimiro Montesinos, sebagai kepala de facto Layanan Intelijen Nasional (SIN), bukan sekadar pejabat korup tetapi arsitek dari perlindungan pemerasan. Kontrolnya atas aparat yudisial dan militer memungkinkannya untuk memeras dan mengooptasi hampir setiap sektor masyarakat Peru, dari pemilik media hingga tokoh politik.")
3. Ketergantungan Elit pada Korupsi
Kutipan ini menjelaskan bahwa korupsi menciptakan ketergantungan di kalangan elit, membuatnya sulit untuk digulingkan:
“The system’s success rested on the fact that corruption was not only used to accumulate wealth but to create structural dependency among the elites. Businesses and political players became so entangled in the illicit network that they had a vested interest in the system’s survival, regardless of its ethical cost.”
(Terjemahan: "Keberhasilan sistem bertumpu pada fakta bahwa korupsi tidak hanya digunakan untuk mengumpulkan kekayaan tetapi untuk menciptakan ketergantungan struktural di antara para elit. Pelaku bisnis dan politik menjadi sangat terjerat dalam jaringan terlarang sehingga mereka memiliki kepentingan yang melekat dalam kelangsungan hidup sistem, terlepas dari biaya etisnya.")
4. Perbedaan Korupsi Besar vs. Korupsi Kecil
Ini adalah poin yang sangat penting untuk membedakan kajian buku ini dari studi korupsi lainnya:
“This study deliberately moves beyond the discourse of 'petty corruption'—the everyday bribes and low-level graft—to focus on 'high-level corruption' where the state itself is utilized as a criminal instrument to facilitate illicit enrichment and the maintenance of authoritarian rule.”
(Terjemahan: "Studi ini sengaja bergerak melampaui wacana 'korupsi kecil'—suap sehari-hari dan penyelewengan tingkat rendah—untuk berfokus pada 'korupsi tingkat tinggi' di mana negara itu sendiri dimanfaatkan sebagai instrumen kriminal untuk memfasilitasi pengayaan terlarang dan pemeliharaan kekuasaan otoriter.")

Posting Komentar untuk "Membongkar Korupsi sebagai Kekuatan: Pelajaran dari Rezim Kriminal Fujimori di Peru"
Posting Komentar