Ketika Hutan Hilang, Hak Asasi Manusia Ikut Runtuh: Membaca Kembali Laporan Human Rights Watch 2009 di Tengah Bencana Sumatera
Pendahuluan: Buku Lama yang Berbicara pada Bencana Hari Ini
Bencana banjir dan longsor besar di Sumatera kembali membuka luka lama: kerusakan hutan Indonesia tidak pernah benar-benar berhenti. Di tengah tragedi ini, laporan Human Rights Watch tahun 2009 berjudul The Human Rights Consequences of Illegal Logging and Corruption in Indonesia’s Forest Sector terasa seperti ditulis ulang untuk hari ini.
Meski fokusnya pada Kalimantan dan terbit lebih dari 15 tahun lalu, pesan utamanya tetap tajam. Kerusakan hutan dan korupsi bukan hanya isu lingkungan, tetapi pelanggaran hak asasi manusia.
Momen ini menjadi lebih relevan karena bertepatan dengan Hari Anti Korupsi Internasional (9 Desember) dan Hari Hak Asasi Manusia (10 Desember), dua tanggal yang menyoroti bagaimana kebijakan dan kelalaian negara berdampak langsung pada keselamatan rakyatnya.
Illegal Logging: Bukan Sekadar Kehilangan Hutan, Tetapi Kehilangan Hak Hidup
Salah satu temuan terpenting dari laporan Human Rights Watch adalah bahwa deforestasi di Indonesia merupakan ancaman langsung terhadap hak hidup, kesehatan, dan penghidupan masyarakat lokal.
Bencana ekologis yang kita lihat hari ini bukan kejadian tiba-tiba. Ia adalah rangkaian sebab-akibat dari:
• hilangnya tutupan hutan,
• erosi tanah masif,
• rusaknya daerah aliran sungai,
• dan lemahnya pengawasan negara.
Ketika fungsi ekologis hutan hancur, masyarakat di desa-desa sekitar hulu sungai menjadi kelompok paling rentan menghadapi banjir bandang dan longsor seperti yang terjadi di Sumatera.
Inilah yang membuat buku ini sangat relevan: kerusakan lingkungan adalah wajah baru dari pelanggaran HAM modern.
Korupsi Sektor Kehutanan: Inti Masalah yang Tak Pernah Selesai
Menurut Human Rights Watch, antara tahun 2003–2006 Indonesia kehilangan lebih dari USD 2 miliar per tahun akibat illegal logging dan praktik korupsi di sektor kehutanan. Namun, kerugian tersebut hanyalah permukaan dari masalah yang lebih dalam.
Laporan itu menegaskan empat pola korupsi struktural:
1. Izin usaha yang mudah dimanipulasi
Perusahaan besar mendapat akses terhadap hutan primer melalui skema “legal” yang sebenarnya sarat rekayasa.
2. Penegakan hukum yang selektif
Pelaku lapangan sering ditangkap, tetapi aktor utama dengan kekuatan ekonomi dan politik tetap lolos.
3. Sinergi antara pejabat lokal dan pengusaha
Human Rights Watch menggambarkan jaringan patronase yang membuat illegal logging terorganisasi, bukan sporadis.
4. Negara kehilangan kendali atas sumber daya alamnya sendiri
Ketika negara tidak dapat melindungi hutan, maka negara juga gagal melindungi rakyat dari risiko bencana.
Dengan kerangka ini, bencana Sumatera bukanlah “musibah alami”, melainkan hasil dari keputusan politik yang gagal menahan korupsi dan perusakan hutan.
Bencana Sumatera: Ketika Peringatan 2009 Menjadi Kenyataan 2025
Banjir dan longsor besar yang terjadi di Sumatera memperlihatkan bahwa peringatan dalam laporan HRW menjadi kenyataan menyakitkan.
Pola yang terjadi hampir identik dengan yang dijelaskan 15 tahun lalu:
• hilangnya hutan pada skala besar,
• rusaknya daerah tangkapan air,
• sedimentasi sungai,
• dan pemukiman yang berada di zona risiko tinggi.
Ketika bencana terjadi, masyarakat bukan hanya kehilangan rumah dan mata pencaharian—mereka kehilangan hak atas rasa aman, hak atas lingkungan sehat, dan kadang hak untuk hidup.
Inilah mengapa membaca kembali laporan ini menjadi penting:
bencana ekologis adalah bukti bahwa pelanggaran HAM sering berakar pada kebijakan lingkungan yang lemah.
Hari Anti Korupsi dan Hari HAM: Dua Agenda yang Saling Menguatkan
Setiap tanggal 9 dan 10 Desember, kita merayakan dua hari penting, namun jarang disatukan dalam wacana publik:
1. Hari Anti Korupsi Internasional
2. Hari Hak Asasi Manusia
Padahal, laporan HRW memperlihatkan bahwa korupsi dalam sektor kehutanan adalah pelanggaran HAM.
Ketika pejabat menerima suap untuk mengabaikan perusakan hutan, mereka sebenarnya:
• membiarkan risiko bencana meningkat,
• membiarkan masyarakat kehilangan sumber air dan sumber ekonomi,
• membiarkan generasi berikutnya kehilangan masa depan ekologisnya.
Dengan demikian, pemberantasan korupsi bukan hanya agenda ekonomi, tetapi agenda perlindungan HAM.
Mengapa Laporan 2009 Masih Sangat Relevan?
Jawabannya sederhana: struktur masalahnya masih sama.
Laporan HRW relevan karena:
• pola korupsi tidak berubah banyak,
• penegakan hukum tetap lemah,
• deforestasi terus berlangsung,
• oligarki sumber daya tetap kuat,
• bencana ekologis semakin sering.
Buku tersebut menjadi cermin bagi Indonesia hari ini:
Selama hutan tidak dilindungi, hak asasi manusia rakyat Indonesia tidak akan pernah terlindungi secara penuh.
Penutup: Hutan adalah Benteng Kemanusiaan
Laporan Human Rights Watch 2009 memberi kita satu pelajaran besar:
perlindungan hutan adalah perlindungan HAM.
Di tengah bencana Sumatera, yang menelan korban jiwa dan kerugian besar—kita melihat bagaimana korupsi dan perusakan lingkungan membawa dampak nyata terhadap kesejahteraan masyarakat.
Mengingat dua hari penting pada Desember ini, marilah kita memahami bahwa:
• korupsi bukan hanya merugikan negara, tetapi melukai rakyat;
• deforestasi bukan hanya kerusakan alam, tetapi kerusakan martabat manusia;
• penegakan hukum bukan hanya tugas birokrasi, tetapi syarat keselamatan publik.
Ketika hutan hilang, hak asasi manusia ikut runtuh. Dan ketika korupsi dibiarkan, bencana hanyalah masalah waktu.

Posting Komentar untuk "Ketika Hutan Hilang, Hak Asasi Manusia Ikut Runtuh: Membaca Kembali Laporan Human Rights Watch 2009 di Tengah Bencana Sumatera"
Posting Komentar