Potensi Ekonomi Arus Mudik: Momentum Hari Raya dan Pemberdayaan Desa

Daftar Isi


Mudik, Hari Raya, dan Potensi Ekonomi yang Sering Terlupakan

Mudik sering dipandang sebagai fenomena sosial tahunan, terutama menjelang Lebaran. Namun jika ditelisik lebih dalam, arus mudik yang terjadi saat hari-hari besar keagamaan seperti Idul Fitri, Natal, Tahun Baru Imlek, Waisak, hingga Nyepi, menyimpan potensi ekonomi luar biasa—khususnya bagi daerah tujuan para pemudik.

Contohnya, pada Idul Fitri 1443 H (2022), lebih dari 85 juta orang diperkirakan melakukan perjalanan mudik setelah dua tahun tertahan pandemi. Pemerintah dan berbagai institusi bahkan menyediakan fasilitas mudik gratis. Rekayasa lalu lintas pun diberlakukan oleh Korlantas Polri, termasuk sistem ganjil-genap di jalur Trans-Jawa.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, memperkirakan perputaran uang saat itu mencapai Rp72 triliun. Angka yang luar biasa dan menjadi bukti bahwa mudik adalah momentum ekonomi, bukan sekadar budaya pulang kampung.

Namun, pertanyaannya: apakah perputaran uang ini berdampak signifikan bagi desa-desa tempat tujuan mudik? Atau hanya menjadi riuh sejenak yang menguap tanpa sisa?

Ulasan Buku: Ekonomi Mudik

Buku Ekonomi Mudik: Potret Potensi Ekonomi Mudik Lebaran dan Gagasan Mudik Berdayakan Desa (Dompet Dhuafa, 2011) yang ditulis oleh M. Arifin Purwakananta dan M. Sabeth Abilawa, mengangkat ide bahwa mudik bisa menjadi gerakan ekonomi rakyat. Buku ini mengajak pembaca untuk melihat mudik dari perspektif pemberdayaan desa, bukan sekadar nostalgia atau tradisi tahunan.

Dalam buku ini dijelaskan bahwa jika potensi ekonomi mudik dikelola secara strategis—melalui UMKM lokal, infrastruktur desa, dan jejaring diaspora—maka desa tak hanya menjadi tempat pulang, tapi juga tempat tumbuh. Dengan begitu, desa tak lagi tertinggal, melainkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru.

Relevansi Lintas Hari Raya

Walau berfokus pada Lebaran, prinsip ekonomi mudik ini juga bisa diterapkan pada hari raya lain. Saat Natal, misalnya, arus balik ke kampung halaman juga menciptakan perputaran uang. Begitu pula dengan Nyepi di Bali, atau Waisak di daerah-daerah dengan komunitas Buddhis besar. Setiap pergerakan massal masyarakat adalah kesempatan ekonomi—jika dimanfaatkan dengan bijak.

Kesimpulan: Tradisi yang Bisa Jadi Transformasi

Mudik adalah bagian dari budaya Indonesia. Namun, buku Ekonomi Mudik mengajak kita untuk naik level: menjadikannya alat pemberdayaan ekonomi desa. Ini bukan sekadar soal pulang, tapi soal menciptakan perubahan.

Apapun hari rayanya—Lebaran, Natal, Waisak, atau lainnya—momentum mudik bisa menjadi peluang. Mari kita dukung ide mudik berdayakan desa, agar setiap perjalanan pulang menjadi langkah menuju kemajuan bersama.

Buku ini memang memotret mudik yang dilihat dari sisi dampak ekonomi bagi masyarakat khususnya masyarakat desa tentu dikhususkan bagi mereka yang Muslim. Ketika buku ini ditulis sorotan mudik saat itu dilakukan oleh 18,5 juta dengan perkiraan perputaran duit mencapai 52,17. Kemudian ketika ditelisik lebih detail lagi ke mana larinya dana sebegitu besar itu? 11 Triliun digunakan untuk transportasi, sedangkan untuk uang saku mencapai 18,5 triliun. Sisanya untuk konsumsi baju dan makanan. Selain juga untuk biaya komunikasi, zakat dan sedekah.

Dompet Dhuafa dalam buku ini memberikan data penelitiannya bahwa pada tahun 2010 dengan fokus kepada perputaran uang pada acara mudik ditemukan bahwa dana berputar pada masa Lebaran tersebut mencapai 84.9 triliun. Dana mudik tersebut digunakan untuk transportasi, konsumsi di perjalanan, akomodasi, kedermawanan, wisata dan investasi. Angka tersebut beranjak naik bila menghitung remitensi TKI ke Indonesia sebesar 20 triliun.

Tapi yang menarik dari buku ini memaparkan bagaimana acara mudik itu bukan hanya bermanfaat bagi pemudik itu sendiri tapi orang lain yaitu desa tujuan mudik itu mendapat efek ekonomi dari kegiatan tersebut. Mudik seharusnya didorong menjadi instrumen pemberdayaan pembangunan desa.

Seperti yang dipaparkan dalam sambutannya oleh Ismail A. Said Presiden Dompet Dhuafa kala itu, ia memberikan gagasan supaya mudik benar-benar memiliki efek positif, bukan malah menjadi persoalan sosial baru dari tahun ke tahun.

Empat gagasan tersebut adalah, pertama perlunya gerakan efesiensi transportasi mudik, kedua gerakan belanja ke pasar rakyat di desa, ketiga gerakan berinvestasi di desa dan keempat gerakan filantropi atau kedermawanan pemudik supaya lebih ditingkatkan lagi. 

Posting Komentar