Buku "The History of Prostitution" karya William Wallace Sanger: Wanita Disalahkan, Pria Terabaikan
Pendahuluan: Menggali Sejarah Prostitusi Bersama Sanger
Buku The History of Prostitution: Its Extent, Causes, and Effects throughout the World karya William Wallace Sanger, diterbitkan pada 1858, adalah karya pionir yang meneliti prostitusi secara sistematis. Ditulis oleh dokter New York ini atas permintaan gubernur Blackwell's Island, buku ini mengulas sejarah prostitusi dari peradaban kuno seperti Mesir dan Romawi hingga New York abad ke-19. Berbasis wawancara dengan 2.000 pekerja s3ks dan data statistik, Sanger mengungkap penyebab, dampak, dan solusi potensial.
Namun, apakah pendekatannya adil? Analisis kritis ini menyoroti bagaimana wanita selalu disalahkan, pelanggan pria terabaikan, dan bagaimana dinamika serupa relevan di konteks Asia, baik secara historis maupun modern. Mari kita dalami!
Pendekatan Simpatik Sanger: Kemiskinan sebagai Akar Prostitusi
Untuk standar era Victoria, yang penuh dengan penghakiman moral, Sanger menunjukkan pendekatan relatif simpatik. Ia meneliti prostitusi di New York, menemukan bahwa kemiskinan adalah pendorong utama. Wawancara dengan 2.000 pekerja s3ks di Blackwell's Island mengungkap realitas pahit: upah mingguan $1 (sekitar 14 sen per hari) tak cukup untuk bertahan hidup.
Faktor lain seperti kurangnya pendidikan, pengabaian keluarga, dan eksploitasi juga berperan. Alih-alih hanya mengutuk prostitusi sebagai "dosa", Sanger menggeser fokus ke ketidakadilan sosial, menegaskan bahwa fenomena ini tidak muncul tiba-tiba. Pendekatan berbasis data ini—menggabungkan statistik dari laporan polisi—menjadikan bukunya terobosan, menawarkan wawasan awal tentang akar sosial prostitusi.
Bias Era Victoria: Wanita sebagai Sasaran Penyalahan
Meski simpatik, The History of Prostitution tak lepas dari bias era Victoria. Norma abad ke-19 memandang wanita sebagai penjaga moralitas keluarga dan masyarakat. Akibatnya, pekerja s3ks wanita dilabeli "wanita jatuh" atau "terdegradasi", menjadi sasaran stigma dan hukuman. Sanger, meskipun mengakui kemiskinan sebagai pemicu, tetap menggunakan istilah yang mencerminkan pandangan ini, secara tidak langsung membebankan tanggung jawab moral pada wanita.
Ia mendetailkan motif mereka, kondisi hidup, dan dampak kesehatan seperti sifilis—yang ia amati sebagai dokter—tetapi narasi ini memperkuat penyalahan pada wanita. Hukum pun tidak adil: pekerja s3ks miskin sering dipenjara, sementara rumah bordil kelas atas dan klien kaya luput dari sanksi. Ini mengungkap standar ganda yang mengakar dalam masyarakat patriarkal.
Pelanggan Pria: Peran yang Terabaikan
Kelemahan mencolok dalam buku Sanger adalah minimnya sorotan pada pelanggan pria. Ia mengakui bahwa permintaan dari pria—dari pekerja hingga elit—mempertahankan industri prostitusi. Di New York, rumah bordil melayani berbagai kalangan, menunjukkan peran pria sebagai pendorong utama. Namun, Sanger tidak mewawancarai pelanggan, tidak menyediakan data statistik tentang motif atau perilaku mereka, dan tidak menyerukan akuntabilitas serupa seperti yang ia arahkan pada wanita.
Dalam konteks era Victoria, hasrat s3ksual pria dinormalisasi, sementara wanita dihakimi karena "melayani" hasrat itu. Sanger mengkritik ketidakadilan hukum—pekerja s3ks miskin dihukum, pria kaya lolos—tetapi ia gagal menantang norma patriarki yang melindungi pelanggan pria dari stigma, hukuman, atau analisis mendalam. Ini meninggalkan celah besar dalam pemahamannya tentang ekosistem prostitusi.
Regulasi ala Sanger: Solusi Progresif atau Setengah Hati?
Sanger mengusulkan regulasi sebagai solusi, terinspirasi dari sistem Eropa seperti di Prancis. Ia menyarankan pelisensian rumah bordil dan pemeriksaan kesehatan berkala untuk pekerja s3ks guna mengurangi penyakit menular seperti sifilis dan melindungi dari eksploitasi. Untuk abad ke-19, ide ini progresif, mengakui bahwa menghapus prostitusi sepenuhnya tidak realistis.
Namun, pendekatan ini masih berfokus pada pengendalian pekerja s3ks, bukan menyasar permintaan dari pelanggan pria. Dari lensa modern, ini terasa setengah hati. Mengapa tidak mengatasi akar permintaan? Model kontemporer seperti "Model Nordik" di Swedia (diadopsi 1999) mengkriminalisasi pembelian s3ks, membebankan tanggung jawab pada klien. Absennya ide semacam ini dalam visi Sanger mencerminkan keterbatasan era dan bias patriarkal.
Prostitusi di Asia: Paralel dengan Pandangan Sanger
Sanger membahas prostitusi di beberapa wilayah non-Barat, termasuk Asia, meskipun lebih terbatas dan mengandalkan sumber sekunder. Namun, pandangannya tentang kemiskinan dan ketidakadilan sosial sebagai pemicu prostitusi sangat relevan di konteks Asia, baik secara historis maupun modern. Mari kita telusuri:
Konteks Historis di Asia
Di Jepang periode Edo (1603–1868), distrik seperti Yoshiwara menjadi pusat prostitusi. Wanita dari keluarga miskin sering "dijual" ke rumah bordil untuk melunasi utang, mencerminkan motif ekonomi yang disoroti Sanger. Di Cina, pada dinasti seperti Ming, gadis-gadis pedesaan miskin menjadi pelacur atau selir akibat gagal panen atau utang keluarga. Sistem "sing-song girls" di Shanghai abad ke-19 juga menunjukkan eksploitasi ekonomi. Di India, tradisi Devadasi awalnya ritual, tetapi kemiskinan mendorong gadis-gadis miskin ke prostitusi. Seperti di New York, wanita di Asia sering disalahkan dan distigma, sementara pelanggan pria—dari pedagang hingga bangsawan—luput dari hukuman, menggemakan ketimpangan yang disinggung Sanger.
Konteks Modern di Asia
Di Thailand, industri s3ks modern, misalnya di Bangkok, terkait pariwisata, tetapi akarnya adalah kemiskinan. Banyak pekerja s3ks berasal dari daerah miskin seperti Isan, di mana pendapatan pertanian rendah mendorong migrasi untuk penghasilan lebih baik via prostitusi. Di India, prostitusi di kota seperti Mumbai sering melibatkan wanita miskin atau korban perdagangan, dengan stigma berat pada mereka, sementara klien pria jarang dihakimi.
Penulis : William Wallace Sanger
Penerbit : Forum
Tahun : Yogyakarta, Cetakan 2019
Halaman : xxvi + 866 halaman
Di Indonesia, lokalisasi seperti Dolly di Surabaya (sebelum ditutup 2014) menunjukkan pola serupa: kemiskinan dan kurangnya opsi pekerjaan mendorong wanita, tetapi hukum dan masyarakat menargetkan mereka, bukan klien. Paralel dengan Sanger jelas: prostitusi di Asia, seperti di Barat, berakar pada ketidakadilan ekonomi dan sosial, dengan wanita menjadi sasaran utama penyalahan.
Bias Gender di Asia
Norma patriarki di Asia memperkuat ketimpangan. Budaya yang menekankan kehormatan keluarga sering menstigma wanita dalam prostitusi sebagai "aib", sementara pelanggan pria dianggap wajar. Sanger tidak mendalami Asia secara detail, tetapi pengakuannya akan ketidakadilan hukum—pekerja miskin dihukum, elit lolos—berlaku di sini. Sayangnya, ia tidak menganalisis peran klien pria di Asia, sebuah celah yang kini disorot oleh studi modern tentang perdagangan manusia dan permintaan s3ks.
Relevansi dan Kritik Modern
The History of Prostitution karya William Wallace Sanger tetap relevan sebagai studi awal tentang sejarah prostitusi, mengaitkannya dengan kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Wawasan ini berlaku di Barat maupun Asia, di mana faktor ekonomi mendorong fenomena ini dari periode Edo hingga Thailand modern.
Namun, bias era Victoria membatasi karya ini: wanita disalahkan, pelanggan pria terabaikan, dan patriarki tidak ditantang. Di Asia, pola serupa—stigma pada wanita, impunitas pria—diperparah oleh norma budaya. Gerakan feminis modern menyerukan dekriminalisasi pekerja s3ks sembari menargetkan permintaan dan perdagangan manusia, melampaui ide regulasi Sanger. Buku ini berharga, tetapi harus dibaca dengan lensa kritis, mengakui konteks historis dan relevansinya di Asia.
Kesimpulan
Buku The History of Prostitution karya William Wallace Sanger adalah tonggak penting, menawarkan pandangan simpatik tentang penyebab prostitusi seperti kemiskinan, dari New York hingga sekilas di Asia. Namun, analisis kritis mengungkap kelemahan: wanita menjadi sasaran penyalahan, pelanggan pria kurang disorot, dan bias patriarkal era Victoria membatasi kedalaman.
Di Asia, dari Yoshiwara Jepang hingga Mumbai modern, kemiskinan dan ketimpangan gender mencerminkan temuan Sanger, tetapi stigma pada wanita tetap dominan. Usulan regulasinya progresif untuk zamannya, tetapi tidak cukup menyasar permintaan pria. Karya ini menginspirasi refleksi: bagaimana kita mengatasi prostitusi dengan keadilan gender, di Barat dan Asia?
Posting Komentar