Buku Pemaafan, Rekonsiliasi & Restorative Justice: Solusi Secara Normatif Menjanjikan, Tetapi Secara Praktis Penuh Tantangan

Daftar Isi

Afthonul Afif dalam bukunya Pemaafan, Rekonsiliasi & Restorative Justice menyodorkan model alternatif dalam melihat keadilan: bukan balas dendam atau penghukuman keras, tapi pemaafan yang disertai pertanggungjawaban, pemulihan, dan rekonsiliasi sosial. Kasus Presiden Soeharto adalah uji lakmus: bisa atau tidak keadilan restoratif diterapkan dalam konflik struktural berskala nasional?

Faktanya, hingga saat ini masih saja beberapa orang menggugat sepak terjang Presiden Soharto di masa lalu. Sehingga buku ini bila ingin melihat kasusnya dengan penerapan buku ini akan menjadi relevan. Mengapa Kasus Soeharto Relevan?

Presiden Soeharto, sebagai presiden Orde Baru selama lebih dari 30 tahun, dikaitkan dengan berbagai pelanggaran. Kalau kita mendatanya yang muncul di permukaan, dia dianggap sebagai:

- Pembunuhan massal pasca-1965

- Rezim otoriter dengan represi politik

- Korupsi

- Penindasan di Timor Leste, Papua, dan Aceh

Setelah lengser tahun 1998, tidak ada proses hukum yang tuntas terhadap Soeharto, baik pidana maupun pertanggungjawaban politik. Ini menciptakan "ketimpangan keadilan" yang sampai hari ini masih menjadi luka sejarah dan terus jadi perbincangan.

Bagaimana Restorative Justice Bisa Diterapkan?

Jika menggunakan pendekatan restorative justice, maka alih-alih hanya fokus pada hukuman pidana terhadap pelaku (bisa sulit dilakukan karena usia saat itu, kondisi kesehatan, atau tekanan politik, tapi juga sebagian orang melihat jasa-jasanya), pendekatannya bisa diarahkan pada:

1. Pengakuan dan pertanggungjawaban moral: Soeharto (atau perwakilannya) menyampaikan pengakuan atas peristiwa-peristiwa kelam yang terjadi. Ini penting untuk validasi pengalaman korban dan penyintas.

2. Dialog korban–negara: Masyarakat korban (eks tapol 65, korban Timor Leste, dll.) diberi ruang untuk menyampaikan pengalaman mereka secara publik. Proses ini berperan dalam healing dan pemulihan martabat.

3. Kompensasi atau rehabilitasi: Bukan semata kompensasi finansial, tapi juga pemulihan nama baik, pengakuan negara atas kesalahan masa lalu, bahkan pembangunan monumen atau kurikulum pendidikan.

4. Rekonsiliasi sosial: Menciptakan kesadaran publik bahwa sejarah kelam tidak boleh dihapus, tapi harus dipelajari untuk menghindari pengulangan.

Judul         : Pemaafan, Rekonsiliasi & Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa lalu dan Upaya-upaya Melampauinya

Penulis      : Afthonul Afif

Penerbit     : Pustaka Pelajar

Tahun         : Yogyakarta, Cetakan pertama tahun 2015

Tebal          : xi + 443 halaman  

Mengapa Ini Tidak Terjadi?

Budaya impunitas masih kuat. Ketergantungan elit baru pada warisan politik Orde Baru dan tentu Kurangnya political will untuk mengungkap kebenaran secara resmi.


Reflektif

Jika kita tidak berani membicarakan masa lalu dengan jujur, kita justru memenjarakan masa depan dalam luka yang tak selesai.

Solusi yang ditawarkan dalam buku Pemaafan, Rekonsiliasi & Restorative Justice memang secara normatif kuat, tetapi secara praktis penuh tantangan. Ada beberapa alasan utama mengapa penerapan gagasan ini tidak mudah, bahkan bisa terasa tidak memuaskan bagi semua pihak:

1. Kepentingan Politik dan Kekuasaan

Restorative justice menuntut pengakuan kesalahan dari pihak yang pernah berkuasa atau mendukung kekuasaan represif. Ini sangat sulit ketika aktor-aktor tersebut masih punya pengaruh politik, bahkan dalam sistem demokrasi pasca-reformasi.

Tidak sedikit elite politik hari ini adalah beneficiaries dari Orde Baru.

2. Korban Menginginkan Keadilan Retributif

Banyak korban atau keluarga korban menginginkan pengadilan, hukuman, dan pengakuan resmi bahwa pelaku bersalah.

Pendekatan restorative bisa dianggap "melemahkan rasa keadilan" bila tidak ada bentuk sanksi atau pertanggungjawaban tegas.

3. Masyarakat Terbelah dalam Memori Kolektif

Soeharto bagi sebagian dianggap "penyelamat ekonomi" atau "bapak pembangunan", sementara bagi lainnya adalah simbol represi dan kekejaman.

Maka, diskursus kebenaran pun diperebutkan, apalagi jika tidak ada proses dokumentasi dan edukasi yang netral.

4. Pemaafan Bukan Solusi Instan

Pemaafan yang ditawarkan dalam keadilan restoratif adalah proses panjang, bukan sekadar memaafkan begitu saja.

Tanpa kesadaran kolektif dan proses penyembuhan yang didesain secara sistemik, pemaafan bisa jadi hanya kosmetik.

5. Tidak Ada Model Tunggal


Apa yang berhasil di Rwanda, Afrika Selatan, atau Kolombia, belum tentu bisa diterapkan mentah-mentah di Indonesia. Restorative justice harus kontekstual, dan ini membutuhkan komitmen lintas sektor: hukum, budaya, pendidikan, politik, bahkan agama.


Jadi, Apakah Ini Gagal?

Tidak. Justru buku seperti ini membuka ruang penting untuk berpikir ulang tentang keadilan. Bahwa,k eadilan tidak selalu identik dengan hukuman. Penyembuhan luka bangsa membutuhkan dialog, keberanian moral, dan kesediaan semua pihak untuk melihat masa lalu tanpa sikap defensif.

Posting Komentar