Stop Baku Tipu: Mengungkap Sisi Gelap Perizinan di Papua yang Masih Berulang

Daftar Isi


Stop Baku Tipu: Ketika Papua Masih Terus Menjadi Obyek, Bukan Subjek


Isu pencabutan izin tambang nikel di Raja Ampat baru-baru ini karena dugaan pencemaran lingkungan seolah menjadi deja vu. Masyarakat dikejutkan oleh kerusakan ekosistem yang masif di salah satu kawasan laut paling indah di dunia. Namun bagi Papua, ini bukan cerita baru. Eksploitasi atas nama pembangunan sudah berlangsung sejak lama. Greenpeace pernah membongkar sebagian dari wajah kelam ini dalam buku laporannya berjudul Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua (2021).

Meski laporan ini ditulis beberapa tahun lalu, isinya seperti menyasar realitas hari ini. Sebuah ironi. Seolah-olah sejarah pengabaian terhadap Papua selalu diperpanjang tanpa henti—dengan aktor yang bisa saja berganti, tapi dengan pola ketimpangan yang sama.

Membongkar Pola: Dari Sawit ke Nikel, Tapi Modusnya Serupa

Dalam Stop Baku Tipu, Greenpeace mengungkap praktik-praktik bermasalah dalam penerbitan izin pembukaan lahan di Papua, terutama untuk perkebunan sawit, sepanjang 2010–2019. Temuan utamanya sangat serius:

168 ribu hektar hutan primer dikonversi menjadi perkebunan dalam waktu kurang dari satu dekade.

Pelepasan kawasan hutan hampir 1 juta hektar sejak tahun 2000, sebagian besar untuk keperluan korporasi sawit.

Adanya keterlibatan elit politik dan aparat keamanan dalam jaringan perizinan yang tidak transparan.

Revisi peta moratorium hutan yang seolah disesuaikan demi memenuhi kepentingan perusahaan tertentu.

Kini, kerusakan yang sama mulai terlihat akibat penambangan nikel. Dari daratan Papua hingga laut Raja Ampat, ekosistem menghadapi ancaman yang sama: dieksploitasi tanpa perlindungan memadai.

Papua Sebagai Obyek, Bukan Subjek

Judul Stop Baku Tipu sendiri adalah jeritan: hentikan saling tipu, hentikan kebohongan struktural. Namun lebih dari sekadar kritik terhadap sistem perizinan, buku ini adalah penanda bahwa masyarakat Papua masih terus diposisikan sebagai obyek pembangunan, bukan subjek yang punya suara dan arah.

Ketika perizinan dikelola tanpa transparansi, ketika masyarakat adat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, dan ketika hak hidup mereka dipinggirkan demi investasi—yang terjadi bukanlah pembangunan, melainkan bentuk baru kolonialisme domestik.

Relevansi Hari Ini: Raja Ampat dan Masa Depan Papua

Kasus pencemaran di Raja Ampat akibat penambangan nikel menjadi alarm keras. Kerusakan ekologis yang terjadi di wilayah laut ini memiliki akar yang sama dengan eksploitasi hutan di daratan Papua: perizinan yang longgar, minim pengawasan, dan miskin partisipasi publik.

Kita harus bertanya: sampai kapan Papua harus terus menanggung beban pembangunan nasional yang timpang?

Penutup: Seruan untuk Hentikan Pola Lama

Stop Baku Tipu bukan sekadar laporan masa lalu. Ia adalah dokumen hidup yang terus relevan karena peristiwanya terus berulang. Saat ini adalah momen penting untuk tidak lagi memandang Papua hanya sebagai wilayah kaya sumber daya, tapi sebagai rumah masyarakat adat yang berhak menentukan masa depannya sendiri.

Menghentikan eksploitasi buta bukan hanya soal menjaga hutan atau laut, tapi soal keadilan. Dan keadilan itu dimulai dari menghentikan kebohongan, baku tipu, yang selama ini dibiarkan hidup di balik meja kekuasaan.

Jika Anda tertarik untuk membaca langsung laporan Stop Baku Tipu, Greenpeace telah mempublikasikannya secara bebas dan dapat diakses publik. Mari membaca tidak hanya untuk tahu, tetapi untuk peduli.

Posting Komentar